Dampak Film Smack Down Dalam Komunikasi
Massa
Media memudahkan orang untuk mempelajari ‘cara-cara baru’ kekerasan yang
kemungkinan besar tidak terpikirkan sebelumnya. Kekerasan yang bersifat fiksi
maupun nyata yang ditayangkan oleh media kemudian ditiru oleh orang lain di
tempat lain dengan harapan akan mendapatkan hasil yang serupa.
Kasus
anak korban ‘smack down’ menjadi gambaran yang sedang hangat. Terlebih
bagi anak-anak, tayangan tersebut bisa memberikan pemahaman yang keliru tentang
rasa sakit dan kondisi tubuh manusia. Betapa tidak, tayangan yang menampilkan
dua orang yang berbadan kekar saling hantam dengan gaya bebas namun tetap
terlihat ‘tidak kesakitan’. Anak akan menganggap bahwa meloncat dan menjatuhkan
tubuh di atas tubuh kawannya, misalnya, tidak akan menimbulkan rasa sakit
apalagi cacat tubuh bahkan meninggal.
De-sensitization effects, berkurang atau hilangnya kepekaan kita terhadap
kekerasan itu sendiri. Studi menunjukkan, akibat
dari banyaknya menonton tayangan kekerasan, orang tidak lagi mudah merasakan
penderitaan atau rasa sakit yang dialami orang lain (Baron, 1974 dalam Baron
& Byrne,2000).
Secara
biologis, ketika menonton tayangan yang menyakitkan atau kekerasan, aktivitas
otak akan bergerak dari ranah bahasa di otak kiri ke otak kanan yang
mendominasi proses emosi dan pengkodean gambaran visual. Itu
sebabnya menonton memberi dampak emosional yang lebih kuat dari pada membaca.
Jika hal ini terlalu banyak, maka kita akan menjadi kebas dan tidak peka lagi
dengan kekerasan (Flora, 2004).
Anak-anak
belum dapat berpikir kritis terhadap apa yang dilihatnya atau dengan kata lain
mereka belum dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Ini terlihat dari
tayangan “Smack Down” dimana banyak kejadian kekerasan yang dilakukan oleh
anak-anak dengan meniru apa yang ada di dalam smack down. Ini menjadi bukti
bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak-anak. Pada tayangan
smack down, walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk
tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut
akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya.
Pendapat
ini sesuai dengan yang diutarakan Joy (1977) yang mengatakan bahwa menyaksikan
perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan
dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut.
Selain itu berdasarkan hasil penelitian tercatat sekarang ini anak pada usia Sekolah Dasar menonton televisi antara 30 hingga 35 jam setiap minggunya. Itu berarti mereka bisa menonton 4 hingga 5 jam pada hari-hari biasa dan 8 hingga 9 jam pada hari Minggu. Angka yang amat tinggi untuk ukuran anak-anak. Padahal, menurut psikolog yang biasa mengasuh rubrik Anda dan Buah Hati di sebuah majalah keluarga, Evi Elvianti untuk anak-anak sampai 12 tahun, rentang waktu menonton televisi adalah 1 hingga 2 jam saja. Evi juga mengingatkan agar anak usia dibawah 2 tahun, sebaiknya jangan dibiarkan terbiasa menonton televisi. Dampak pola menonton televisi yang tidak terkontrol, dapat membuat anak-anak mengalami kesulitan berkonsentrasi pada tingkat tinggi. Selain itu juga akan mengurangi pemahaman anak tentang kesuksesan. Di dalam televisi, mereka biasa melihat orang-orang kaya tampan dan cantik, namun mereka tidak akan mengerti dalam kehidupan nyata untuk mencapai proses tersebut.
Selain itu berdasarkan hasil penelitian tercatat sekarang ini anak pada usia Sekolah Dasar menonton televisi antara 30 hingga 35 jam setiap minggunya. Itu berarti mereka bisa menonton 4 hingga 5 jam pada hari-hari biasa dan 8 hingga 9 jam pada hari Minggu. Angka yang amat tinggi untuk ukuran anak-anak. Padahal, menurut psikolog yang biasa mengasuh rubrik Anda dan Buah Hati di sebuah majalah keluarga, Evi Elvianti untuk anak-anak sampai 12 tahun, rentang waktu menonton televisi adalah 1 hingga 2 jam saja. Evi juga mengingatkan agar anak usia dibawah 2 tahun, sebaiknya jangan dibiarkan terbiasa menonton televisi. Dampak pola menonton televisi yang tidak terkontrol, dapat membuat anak-anak mengalami kesulitan berkonsentrasi pada tingkat tinggi. Selain itu juga akan mengurangi pemahaman anak tentang kesuksesan. Di dalam televisi, mereka biasa melihat orang-orang kaya tampan dan cantik, namun mereka tidak akan mengerti dalam kehidupan nyata untuk mencapai proses tersebut.
Selain
dampak negatif diatas, dampak positif dengan adanya televisi bagi anak-anak
adalah televisi menjadi cara ampuh untuk menghibur diri dikala mereka tidak
bisa bermain dengan teman sebaya mareka. Bermain dengan televisi lebih baik
dari pada bermain di luar dengan teman sebaya. Ditunjang dengan film-film
kartun di berbagai stasiun televisi yang bagaikan cendawan di musim hujan. Tak
heran jika mereka sering menolak ajakan orang tua. Dan tayangan yang bisa memberi
hiburan cukup dan bisa merangsang kreatifitas anak tanpa membuang kemampuan
berfikir dan berimajinasi.
Sejak
reformasi, televisi kita bisa lebih bebas dalam pemilihan tayangan. Seiring
dengan itu, kekerasan pun merebak, berita mulai didominasi dengan
tindakan-tindakan anarkis yang tidak jarang bersumber dari sesuatu yang sepele.
Masyarakat menjadi sangat mudah disulut api kekerasan. Sayangnya, televisi pun
makin getol dengan adegan kekerasan bahkan sebagai hiburan. Coba telusuri
program serangkaian film asing yang dijanjikan akan diputar dalam satu bulan,
sulit sekali menemukan film keluarga yang bisa menciptakan senyum, tawa,
perasaan santai, melepas beban rutinitas dan mendapatkan masukkan yang positif.
Tayangan
televisi merupakan media massa yang paling banyak dipergunakan oleh masyarakat.
Tidak mengherankan jika banyaknya tindak kekerasan yang ditayangkan di televisi
mempengaruhi perilaku seseorang. Efek tayangan kekerasan sangatlah berbahaya
bagi orang-orang yang kurang bisa menganalisis dan mengidentifikasi
tayangan-tayangan kekerasan di televisi. Seiring dengan semakin banyaknya
tayangan yang mengandung unsur kekerasan maka kemungkinan seseorang untuk
meniru perilaku itu semakin besar.
Dampak
tayangan kekerasan di televisi paling sering melanda anak-anak. Dimana
anak-anak menganggap adegan kekerasan tersebut sebagai hiburan. Hal itu akan
berpengaruh pada kondisi psikologis anak ketika telah menjadi lebih dewasa. Dia
akan merasa sudah terbiasa dengan tindakan kekerasan dan tidak merasa takut
untuk melakukannya.
Sampai
saat ini upaya untuk menanggulangi penyimpangan perilaku karena tayangan
kekerasan di televisi masih sulit untuk dilakukan. Kita sebagai seorang
penonton televisi seharusnya lebih pandai untuk tidak meniru adegan-adegan
kekerasan yang ada di televisi.
DAFTAR
PUSTAKA
http : //www.e-psikologi.com
http : //www.wordpress.com
Supratiknya,
A. 1995. Komunikasi Antarpribadi : Tinjauan Psikologis. Yogyakarta
: Kanisius
Susanto,
Phil. Astrid S. 1977. Komunikasi : Dalam Teori dan Praktek. Jakarta
: Binacipta
Winarso,
Heru Puji. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta : Prestasi
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar