Minggu, 13 Maret 2016

Dampak Film Smack Down Dalam Komunikasi Massa



Dampak Film Smack Down Dalam Komunikasi Massa

Media memudahkan orang untuk mempelajari ‘cara-cara baru’ kekerasan yang kemungkinan besar tidak terpikirkan sebelumnya. Kekerasan yang bersifat fiksi maupun nyata yang ditayangkan oleh media kemudian ditiru oleh orang lain di tempat lain dengan harapan akan mendapatkan hasil yang serupa.
Kasus anak korban ‘smack down’ menjadi gambaran yang sedang hangat. Terlebih bagi anak-anak, tayangan tersebut bisa memberikan pemahaman yang keliru tentang rasa sakit dan kondisi tubuh manusia. Betapa tidak, tayangan yang menampilkan dua orang yang berbadan kekar saling hantam dengan gaya bebas namun tetap terlihat ‘tidak kesakitan’. Anak akan menganggap bahwa meloncat dan menjatuhkan tubuh di atas tubuh kawannya, misalnya, tidak akan menimbulkan rasa sakit apalagi cacat tubuh bahkan meninggal.
De-sensitization effects, berkurang atau hilangnya kepekaan kita terhadap kekerasan itu sendiri. Studi menunjukkan, akibat dari banyaknya menonton tayangan kekerasan, orang tidak lagi mudah merasakan penderitaan atau rasa sakit yang dialami orang lain (Baron, 1974 dalam Baron & Byrne,2000).
Secara biologis, ketika menonton tayangan yang menyakitkan atau kekerasan, aktivitas otak akan bergerak dari ranah bahasa di otak kiri ke otak kanan yang mendominasi proses emosi dan pengkodean gambaran visual. Itu sebabnya menonton memberi dampak emosional yang lebih kuat dari pada membaca. Jika hal ini terlalu banyak, maka kita akan menjadi kebas dan tidak peka lagi dengan kekerasan (Flora, 2004).
            Anak-anak belum dapat berpikir kritis terhadap apa yang dilihatnya atau dengan kata lain mereka belum dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Ini terlihat dari tayangan “Smack Down” dimana banyak kejadian kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak dengan meniru apa yang ada di dalam smack down. Ini menjadi bukti bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak-anak. Pada tayangan smack down, walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya.
            Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan Joy (1977) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut.
Selain itu berdasarkan hasil penelitian tercatat sekarang ini anak pada usia Sekolah Dasar menonton televisi antara 30 hingga 35 jam setiap minggunya. Itu berarti mereka bisa menonton 4 hingga 5 jam pada hari-hari biasa dan 8 hingga 9 jam pada hari Minggu. Angka yang amat tinggi untuk ukuran anak-anak. Padahal, menurut psikolog yang biasa mengasuh rubrik Anda dan Buah Hati di sebuah majalah keluarga, Evi Elvianti untuk anak-anak sampai 12 tahun, rentang waktu menonton televisi adalah 1 hingga 2 jam saja. Evi juga mengingatkan agar anak usia dibawah 2 tahun, sebaiknya jangan dibiarkan terbiasa menonton televisi. Dampak pola menonton televisi yang tidak terkontrol, dapat membuat anak-anak mengalami kesulitan berkonsentrasi pada tingkat tinggi. Selain itu juga akan mengurangi pemahaman anak tentang kesuksesan. Di dalam televisi, mereka biasa melihat orang-orang kaya tampan dan cantik, namun mereka tidak akan mengerti dalam kehidupan nyata untuk mencapai proses tersebut. 

            Selain dampak negatif diatas, dampak positif dengan adanya televisi bagi anak-anak adalah televisi menjadi cara ampuh untuk menghibur diri dikala mereka tidak bisa bermain dengan teman sebaya mareka. Bermain dengan televisi lebih baik dari pada bermain di luar dengan teman sebaya. Ditunjang dengan film-film kartun di berbagai stasiun televisi yang bagaikan cendawan di musim hujan. Tak heran jika mereka sering menolak ajakan orang tua. Dan tayangan yang bisa memberi hiburan cukup dan bisa merangsang kreatifitas anak tanpa membuang kemampuan berfikir dan berimajinasi.
Sejak reformasi, televisi kita bisa lebih bebas dalam pemilihan tayangan. Seiring dengan itu, kekerasan pun merebak, berita mulai didominasi dengan tindakan-tindakan anarkis yang tidak jarang bersumber dari sesuatu yang sepele. Masyarakat menjadi sangat mudah disulut api kekerasan. Sayangnya, televisi pun makin getol dengan adegan kekerasan bahkan sebagai hiburan. Coba telusuri program serangkaian film asing yang dijanjikan akan diputar dalam satu bulan, sulit sekali menemukan film keluarga yang bisa menciptakan senyum, tawa, perasaan santai, melepas beban rutinitas dan mendapatkan masukkan yang positif.
Tayangan televisi merupakan media massa yang paling banyak dipergunakan oleh masyarakat. Tidak mengherankan jika banyaknya tindak kekerasan yang ditayangkan di televisi mempengaruhi perilaku seseorang. Efek tayangan kekerasan sangatlah berbahaya bagi orang-orang yang kurang bisa menganalisis dan mengidentifikasi tayangan-tayangan kekerasan di televisi. Seiring dengan semakin banyaknya tayangan yang mengandung unsur kekerasan maka kemungkinan seseorang untuk meniru perilaku itu semakin besar.
Dampak tayangan kekerasan di televisi paling sering melanda anak-anak. Dimana anak-anak menganggap adegan kekerasan tersebut sebagai hiburan. Hal itu akan berpengaruh pada kondisi psikologis anak ketika telah menjadi lebih dewasa. Dia akan merasa sudah terbiasa dengan tindakan kekerasan dan tidak merasa takut untuk melakukannya.
Sampai saat ini upaya untuk menanggulangi penyimpangan perilaku karena tayangan kekerasan di televisi masih sulit untuk dilakukan. Kita sebagai seorang penonton televisi seharusnya lebih pandai untuk tidak meniru adegan-adegan kekerasan yang ada di televisi.





DAFTAR PUSTAKA
http : //www.e-psikologi.com
http : //www.wordpress.com
                        Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antarpribadi : Tinjauan Psikologis. Yogyakarta : Kanisius
                        Susanto, Phil. Astrid S. 1977. Komunikasi : Dalam Teori dan Praktek. Jakarta : Binacipta
                        Winarso, Heru Puji. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta : Prestasi Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar