Kamis, 23 Juni 2016

11 FILM YANG LAGI BOOMING !!!

Hola Fillerxx!! Akhir" ini banyak kan film-film yang bagus sekarang Hanny mau ngeshare beberapa review film yang seru" nih.. Check this out ! > <

1. THE CONJURING 2 (2016) REVIEW : Sekuel Franchise Horor Yang Berbeda


Ed dan Lorraine Warren pernah dan sangat berhasil menghantui malam-malam penontonnya paska bercerita tentang kasusnya menangani gangguan makhluk halus. Kesuksesan itu benar-benar tak terduga, paska cerita yang diarahkan oleh James Wan ini telah pernah menangani kasus cerita serupa. The Conjuring adalah judul dari kasus milik Ed dan Lorraine Warren dalam menangani kasus-kasus makhluk astral yang menghantui kliennya.
  
Kasus milik Ed dan Lorraine Warren ini berdasarkan kasus yang ditangani oleh orang bernama sama di dunia nyata. Mereka berdua bukanlah karakter rekaan yang dibuat oleh James Wan dan cerita filmnya pun diadaptasi dari kasus-kasus mereka. Maka, setelah berhasil menakut-nakuti penontonnya di kasus pertamanya, James Wan memutuskan untuk melanjutkan kisah-kisah penangkapan hantu lainnya dari kasus milik mereka. The Conjuring tak sengaja menjadi sebuah franchise film horor besar yang ditunggu oleh penontonnya. Dan The Conjuring 2, menjadi sebuah film yang dinantikan.

James Wan pernah sukses besar dalam franchise lain bernama Insidious. Tetapi, kengerian itu hanya bertahan pada film seri pertamanya saja. Maka, jelas menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan apabila The Conjuring 2 akan mengalami nasib serupa dengan film-film seri Insidious. Perlakuan James Wan di dalam seri The Conjuring ternyata berbeda dengan filmnya yang lain. The Conjuring 2 masih memberikan sebuah film horor yang menyenangkan. Meski, tak seseram yang pertama, tetapi The Conjuring 2 memiliki signature-nya untuk menjadi film horor yang berkelas. 

Ed (Patrick Wilson) dan Lorraine Warren (Vera Farmiga), kembali menangani kasus-kasus makhluk gaib yang sudah menjadi profesinya. Kasus yang telah mereka tangani contohnya adalah kasus Amytiville yang membuat kedua orang ini semakin terkenal atas rekam jejaknya menangani hal serupa. Kejadian tak mengenakkan hadir persis sama dengan apa yang terjadi dengan kasus mereka di Amytiville. Bedanya, tempat kasusnya berada di Enfield, London dan orang-orang mengatakan bahwa ini adalah London’s Amytiville.

Korban dari gangguan makhluk astral ini menyerang keluarga dari Peggy Hodgson (Frances O’Connor). Rumah yang dihuninya selama ini ternyata ditempati oleh makhluk astral jahat yang berusaha menganggu mereka. Makhluk astral tersebut mengincar Janet Hodgson (Madison Wolfe) dan merasuki tubuh anak kecil tersebut. Dengan adanya peristiwa ini, sebuah gereja mengutus Ed dan Lorraine untuk menangani kasus ini. Makhluk astral ini tidak hanya menghantui keluarga Hodgson, tetapi juga Lorraine Warren yang sudah merasa telah diperingati sebelumnya. 

Plot cerita dari The Conjuring, mungkin akan terkesan sama dengan beberapa film James Wan dengan genre serupa. Hal itu mungkin akan membuat beberapa orang akan sukar untuk membedakan dari film-film James Wan. Bahkan, beberapa film horor pun akan memiliki cetakan cerita yang sama dengan beberapa film lainnya. Pintarnya, James Wan memiliki caranya untuk membuat filmnya memiliki sesuatu yang segar dan selalu mendapatkan perhatian dari penontonnya.

Itu pun terjadi di The Conjuring 2, ketika penonton berusaha menurunkan sebuah ekspektasi untuk filmnya, James Wan berusaha keras untuk membuat filmnya berbeda. The Conjuring 2 memang tak akan bisa memberikan sebuah sajian yang akan mencekam seperti film pertamanya. Tetapi, The Conjuring 2memberikan sentuhan lebih kepada karakternya. Jika, di film pertama, karakter di dalam Ed dan Lorraine hanya sebagai medium pengantar cerita, maka akan terasa berbeda di film keduanya.

Ed dan Lorraine memiliki kesempatan untuk berkembang di dalam The Conjuring 2. Sekuel ini memang memiliki durasi yang lebih panjang yaitu 140 menit. Tetapi, James Wan memiliki cara untuk membuat penontonnya memiliki simpati kepada karakter-karakter filmnya. The Conjuring 2 memang akan terasa terlalu panjang, tetapi ada problematika karakter yang memang lebih kompleks. Memberikan sebuah cerita personal kepada karakternya sehingga penonton tak hanya merasa  dihantui oleh arwah penasaran di dalam filmnya, tetapi juga masalah pribadi para karakter yang memiliki sangkut paut dengan plot cerita secara keseluruhan. 


James Wan memang sibuk memberikan pengembangan karakter-karakternya dalam bercerita. Tetapi, James Wan tak melupakan esensi film horor untuk memberikan ‘kesenangan’ kepada penontonnya yang haus untuk dihantui. The Conjuring 2 memiliki cara menakut-nakuti yang berkelas dengan tata kamera yang tak sembarangan. Sosok makhluk astral di dalam film ini memang terkesan ‘ingin tampil’, tetapi James Wan bisa memberikan sebuah level kengerian yang tak disangka oleh banyak orang.

James Wan lebih memberikan kengerian lewat atmosfir filmnya yang tak memberikan rasa nyaman ketimbang menggunakan jump scares. Meskipun, formula jump scares tetap digunakan oleh James Wan untuk memberikan sebuah sensasi berteriak yang menyenangkan bagi penontonnya. Tetapi, The Conjuring 2 arahan James Wan berhasil memberikan jump scares yang formulanya sama dengan kemasan yang segar dan efektif menghantui penontonnya. 


Dan sekali lagi, The Conjuring 2 akan berhasil menguras keberanian dan adrenalin penontonnya ketika menyaksikan film ini. Suasana di dalam film The Conjuring 2 memang tak bisa mengalahkan film pertamanya. Tetapi sebagai film sekuel, The Conjuring 2 memberikan inovasi untuk filmnya. James Wan memberi suntikan bangunan cerita karakter yang kuat dan bisa mengundang simpati penonton untuk ikut resah dengan segala problematikanya. Maka, The Conjuring 2 tak hanya mengandalkan kasus pengusiran makhluk astralnya saja untuk menghantui penontonnya. Tetapi memberikan problematika hidup karakter-karakternya yang dapat memberikan dampak psikis yang hebat ketika menonton filmnya. Sebuah sekuel yang memberi kelasnya sendiri bagi franchise ini.


2. NOW YOU SEE ME 2 (2016) REVIEW : Film Sulap Yang Mengelabui Penontonnya



Bukan tak mungkin, jika film yang pada awalnya disutradarai oleh Louis Leterrier ini pada akhirnya akan mendapatkan sebuah perhatian dari para penontonnya. Now You See Me menjadi sebuah sleeper hit yang disukai oleh penontonnya. Now You See Me memberikan sebuah sajian plot cerita yang segar pada saat itu. Dengan atensi yang sudah terbangun cukup besar, maka tak salah pula jika Summit Entertainment pada akhirnya memutuskan untuk membuat Now You See Me menjadi sebuah franchise andalan dari rumah produksi mereka.


Sayangnya, Louis Leterrier tak kembali mengarahkan Now You See Me 2. Summit Entertainment pun menunjuk Jon M. Chu sebagai pengganti Louis Leterrier yang akan memprakarsai jalannya film Now You See Me 2. Tetapi, jajaran pemain utama di film ini pun kembali hadir kecuali Isla Fisher yang pada film ini digantikan oleh Lizzy Caplan. Pun, ditambahi dengan nama-nama besar lainnya yang ikut andil di film ini seperti Daniel Radcliffe dan Jay Chou.

Di film pertamanya, Now You See Me memang menghadirkan banyak sekali setup baru. Hal ini dibuat untuk memberikan sebuah celah agar bisa dikembangkan menjadi sebuah franchise dengan universe yang besar. Dan benar saja, Now You See Me 2 hadir menjadi sebuah setup baru dari hasil celah-celah yang diberikan oleh film predesesornya. Tetapi, Now You See Me 2 ternyata tak terlalu memaksimalkansetup yang ada. Now You See Me 2 hadir dengan dasar setup lama yang tak berusaha ditutupi dan mengembangkan lebih banyak lagi setup baru untuk dijadikan sekuel selanjutnya.

  
Setelah berhasil kabur dari kejaran para polisi dan menjebak Thaddeus (Morgan Freeman), Four Horsemen yang diketuai oleh Dylan Rhodes (Mark Rufallo) ini melanjutkan sebuah aksi baru. Four Horsemen itu terdiri dari J. Daniel Atlas (Jesse Eisenberg), Meritt McKinney (Woody Harrelson), Jack Wilder (Dave Franco), dan Lula (Lizzy Caplan) sebagai pengganti Henley. Misi mereka berusaha mengungkap suatu tindak kejahatan yang dilakukan oleh seorang pembuat teknologi di acara pamerannya yang dibuat.

Sayangnya, hal tersebut ternyata hanyalah jebakan bagi Four Horsemen agar terungkap semua identitasnya. Hal tersebut membawa Four Horsemen ke Macau dan bertemu dengan seseorang bernama Walter Mabry (Daniel Radcliffe). Dia adalah anak dari Arthur Tressler (Michael Caine) yang berusaha membalaskan dendam ayahnya. Four Horsemen pun mencari cara agar bisa lepas dari cengkraman Walter Mabry dan berusaha untuk menangkap, juga mengungkap siapa dan apa motivasi dari Walter Mabry. 


Ketakutan Now You See Me 2 sebagai sebuah sajian yang formulaik mungkin tidak terbukti. Jon M. Chu berhasil keluar dari kutukan film-film sekuel yang memiliki template cerita yang sama. Tetapi disayangkan, ketika Jon M. Chu berhasil keluar dari cetakan cerita yang sama, hanya saja Now You See Me 2 kehilangan sebuah lucky charm yang ada di dalam film pertamanya. Now You See Me 2 memang masih memiliki trik-trik adegan yang menyenangkan, tetapi Jon M. Chu lupa untuk menutup lubang-lubang informasi yang ada di film pertama di film keduanya.

Lubang-lubang di film pertama memang banyak sekali tersebar di sepanjang film. Tetapi, penonton akan merasa memaklumi karena adanya rencana sekuel yang ada di tahun 2016. Maka, pertanyaan-pertanyaan tersisa itu bisa jadi menjadi sebuah setup baru sebagai dasar cerita di film kedua. Sayangnya, keyakinan penonton akan hal tersebut harus pupus. Now You See Me 2 memang memberikan jangkauan cerita yang terasa lebih luas dari film pertamanya. Tetapi, subplot cerita di film ini meluas ke beberapa bagian yang malah membuat lubang-lubang cerita semakin besar. 

Now You See Me selalu mengakali plot ceritanya yang sebenarnya linear dengan trik-trik sulap yang dilakukan oleh karakternya. Sehingga, film pun terasa mempunyai sebuah konflik cerita yang terlihat rumit. Sayangnya, itu adalah sebuah ilusi yang dilakukan oleh Ed Solomon selaku penulis naskah dari film ini. Now You See Me 2 pun melakukan ‘trik’ tersebut ke dalam plot ceritanya hanya saja dengan porsi yang kelewat banyak. Sekuelnya kali ini mengelabui penonton dengan gaya cerita yang terlihat asyik, sehingga penonton akan lupa akan beberapa dasar cerita penting yang perlu diperhatikan.

Trik-trik itu dilakukan dengan kuantitas yang lebih besar dan lebih lama. Sehingga, durasi film pun membengkak hingga 122 menit dan sama sekali tak berusaha memberikan penyelesaian kepada setiap subplot cerita yang membutuhkan penjelasan. Subplot cerita di dalam film ini pun terkesan kacau, di mana seharusnya subplot di dalam film ini bisa dijadikan sebagai dasar cerita di film selanjutnya. Hal tersebut mempengaruhi performa dari Now You See Me 2 secara keseluruhan.

Beberapa subplot cerita dipaksa hadir untuk memenuhi durasi, tetapi malah menyisakan lubang cerita yang semakin besar dari film pertamanya.Karakter antagonis film ini pun terasa tak memiliki rintangan yang besar bagi Four Horsemen dalam melakukan misinya. Jon M. Chu berusaha keras membangun Now You See Me menjadi sebuah franchise yang memiliki jangkauan rekaan dunia yang lebih besar. Tetapi, secara tak langsung, Now You See Me 2 telah memberikan spoiler besar akan apa yang terjadi di seri selanjutnya. 


Sehingga, setup baru lahir, lubang informasi cerita pun semakin membesar. Now You See Me 2 bukanlah sebuah solusi informatif tentang konflik-konflik di film predesesornya. Dengan berbagai trik-trik sulap yang lebih ditonjolkan, Jon M. Chu lupa bahwa film ini perlu jawaban-jawaban atas segala plot cerita yang sudah ditunjukkan di sepanjang film. Meski telah berhasil keluar dari cetakan cerita yang setipe,Now You See Me 2 ternyata mengalami sebuah penurunan. Trik sulap digunakan sebagai ilusi cerita yang sudah semakin tipis selama bertambahnya durasi. Sehingga, pada akhirnya penonton akan merasakan ada sebuah pertanyaan yang belum dijawab meski film telah berakhir.


3.TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES : OUT OF THE SHADOWS (2016) REVIEW : The New Sequel, The Old Mistakes



Akan sangat mudah mendapat lampu hijau untuk mendapatkan jatah memiliki sekuel bagi film-film yang secara kuantitas sukses mengumpulkan jumlah angka yang fantastis. Dan hal itu akan menjadi suatu kebiasaan yang terjadi di rumah produksi manapun dan lumrah terjadi. Teenage Mutant Ninja Turtles sebagai contohnya, film adaptasi dari komik ini berhasil mendapatkan perolehan Box Office yang memuaskan dengan budget yang sedikit. Di bawah naungan Michael Bay, Teenage Mutant Ninja Turtles jelas memiliki jalan yang mudah untuk memperoleh lampu hijau itu.
 
Maka, di tahun 2016 ini, Teenage Mutant Ninja Turtles mendapatkan kesempatan untuk memiliki bagian kedua dari cerita mereka. Tetapi kali ini, Jonathan Liebesman tak kembali menjadi pemegang kendali bagi filmnya. Dan kedudukan Jonathan Liebesman kali ini digantikan oleh Dave Green. Para kura-kura ini kembali menjalankan misi teranyar mereka dengan formasi jajaran pemain yang sama. Dan bagian paling baru mereka memiliki judul Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows.

Dan sayangnya, meski telah mengalami perubahan di pangkat tertinggi, Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows tak memiliki perubahan kualitas. Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows memiliki problematika serupa dalam mengantarkan segala plot cerita yang termasuk linear di dalam filmnya. Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows tampil hambar dan lagi-lagi terlihat keasyikan sendiri dalam mengemas filmnya. 


Misi terbaru dari kura-kura ninja ini terfokus pada bagaimana Raphael (Alan Ritchson), Leonardo (Pete Ploszek), Donatello (Jeremy Howard), dan Michelangelo (Noel Fisher) yang harus menutupi identitas mereka yang telah menyelamatkan dunia di film sebelumnya. Shredder (Brian Tee) yang telah tertangkap kembali membuat ulah dengan berusaha kabur dari penjara. Dia bersekongkol dengan seorang ilmuwan bernama Baxter (Tyler Perry) untuk mengaktifkan sebauh alat teleportasi.

Tetapi, alat tersebut malah membuat masalah semakin runyam. Ketika alat teleportasi tersebut membuat Shredder bertemu dengan Krang (Brad Garrett). Krang menyuruhnya untuk menemukan sebuah alat yang dapat mewujudkan impiannya menguasai dunia. Dengan adanya hal itu, para kura-kura ninja bersiap untuk sekali lagi mengalahkan Shredder dan Krang. Mereka dibantu oleh April (Megan Fox) dan Casey Jones (Stephen Amell) untuk menuntaskan misi mereka. 


Dengan misi teranyar yang dimiliki oleh para kura-kura ninja, ternyata tak memiliki sesuatu yang benar-benar baru di dalam filmnya. Misi-misi tersebut masih memiliki formula yang sama, yang ternyata tak hanya di dalam plot ceritanya saja. Pun, formula yang sama itu terjadi di dalam setiap pengarahan yang dilakukan oleh Dave Green di Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows. Kesalahan-kesalahan yang terjadi di dalam film predesesornya terjadi kembali di sekuel terbarunya kali ini.

Teenage Mutant Ninja Turles, tak memiliki kekuatan untuk menjadi sebuah sajian yang segar bagi penontonnya. Semua yang ada di dalam film pertama dari kura-kura ninja ini akan terasa sangat repetitif dan memiliki template dengan film-film Michael Bay, selaku produser. Dan konsistensi atas sesuatu yang bukan menjadi kelebihan ini menjadi suatu malapetaka bagi Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows. Film keduanya bermain aman dengan asal salin template di film pertamanya.


Asal salin template ini pun tak berusaha untuk mencari tahu apa yang menjadi problematika di film pertama. Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows masih berusaha keras untuk menjadi sebuah film yang segar tetapi melupakan inovasi. Hasilnya, Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows malah terpuruk dengan segala upayanya sendiri. Film arahan Dave Green ini terjebak dengan bagaimana naskah dan arahan yang berusaha terlihat asyik dan malah membuat filmnya tak memiliki komponen-komponen yang menarik. 

Dengan durasi selama 115 menit, Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows minus akan tensi yang dapat membawa penontonnya untuk menikmati petualangan mereka. Pun, dengan durasi yang panjang itu, Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows terasa tak berusaha menceritakan apapun dengan plot ceritanya yang semakin rumit. Tetapi, Dave Green menyibukkan diri memberikan sebuah visual spektakular yang ternyata tak bisa menjadi senjata andalan bagi filmnya sendiri. 

 

Sibuknya memainkan visual yang spektakuler juga tak membuahkan hasil. Mereka memberikan penampilan visual efek grafis yang memang terlihat besar, tetapi ada rasa hambar di tengah kemegahan tersebut. Tak berhenti di situ, Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows memasag banyak karakter-karakter baru yang berusaha memiliki urgensi untuk tampil sebagai pion yang menjalankan cerita. Tetapi, lagi-lagi, potensi itu tak berusaha digali lebih lagi meski dengan durasi film yang sudah mencapai dua jam.

Dave Green terlalu bermain dengan zona aman dari Teenage Mutant Ninja Turles. Sehingga, sang sutradara seperti menutup mata dengan plot cerita dan karakter baru yang ada di dalam filmnya sendiri. Sehingga, munculnya plot cerita dan karakter baru ini hanyalah sebagai sebuah formalitas yang dibutuhkan di sebuah film sekuel agar tak terlihat menggunakan formula yang sama. Tetapi sayangnya, Dave Green ternyata tak bisa membuat Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows memiliki sesuatu yang berbeda, bahkan arahannya pun terasa statis bahkan terasa menurun. 


Maka, Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows adalah sebuah sekuel yang ada dikarenakan kesuksesan kuantitas dari sebuah film predesesornya. Padahal, film predesesornya sendiri memiliki banyak kekurangan yang perlu diperbaiki agar di sekuelnya nanti memiliki progres yang bisa meningkatkan kualitas film pendahulunya. Sayangnya, meski sudah mengalami pergantian sutradara, Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows tak berhasil memberikan sebuah progres yang signifikan, dan bahkan cenderung menurun. Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows masih menjadi sebuah sajian film blockbuster yang memiliki kesalahan yang sama dan keasyikan sendiri. 


4. X-MEN : APOCALYPSE (2016) REVIEW : The Myth Of Third Installment for X-Men Trilogy


Musim panas telah datang dan waktunya film-film bermodal besar menunjukkan performanya. Film-film manusia super tetap memeriahkan parade film-film musim panas kali ini. Maret hingga Mei adalah bulan yang penuh sesak dengan deretan-deretan film manusia super yang sedang memasuki fase berbeda. Setelah Batman V Superman dan Captain America : Civil War, Marvel dengan naungan Fox melanjutkan fase berikutnya dari para mutan-mutan yang diasuh oleh Professor Xavier.

Para mutan ini memiliki misi lanjutan dari X-Men : Days of Future Past, di mana mereka harus berhadapan dengan musuh baru. Chapter berikutnya dari seri ini adalah X-Men : Apocalypse yang menemukan kekacauan dan digadang akan lebih besar dari film-film X-Men sebelumnya. Tetapi, dengan kuantitas yang lebih besar, X-Men : Apicalypse tetap didalangi oleh Bryan Singer. Di dalam seri ketiga ini, Bryan Singer memiliki tugas dan janji untuk membuat X-Men : Apocalypse untuk lebih besar dan menyenangkan bagi penontonnya.

Hasil dari Days of Future Past bisa meluluhkan penonton dan juga para kritikus film. Maka, Bryan Singer akan mendapat kepercayaan lebih ketika melanjutkan petualangan para mutan ini.  Setelah membangun universe dengan besar dan megah di Days of Future PastApocalypse ternyata menjadi sebuah presentasi yang menurun jika dibandingkan dua film sebelumnya. X-Men : Apocalypse tak berusaha memberikan sesuatu yang baru, baik dalam plot utama ceritanya mau pun lewat adegan-adegan lain yang berusaha diunggulkan.


Setelah kejadian Days of Future Past, Professor X (James McAvoy) berusaha untuk fokus mengembangkan asrama bagi mutan-mutan muda yang baru terdeteksi. Tetapi, kehidupan yang tenang itu tak berlangsung lama ketika mengetahui bahwa ada mutan pada masa mesir kuno yang berusaha untuk dihidupkan kembali. Mutan tersebut bernama En Sabah Nur (Oscar Isaac) yang juga dianggap sebagai tuhan oleh beberapa orang di Mesir. En Sabah Nur yang sudah bangkit mengumpulkan mutan-mutan baru untuk menjadi anak buahnya.

Dan salah satu mutan yang bergabung menjadi tim En Sabah Nur adalah Magneto (Michael Fassbender). Mystique (Jennifer Lawrence) yang merasa bahwa Magneto sedang dalam kondisi bahaya segera melaporkan berita itu ke Professor X. Dan akhirnya mereka membentuk  sebuah tim muda baru yang berusaha untuk mengalahkan En Sabah Nur. Tetapi, kekuatan En Sabah Nur berhasil  mengontrol kekuatan para mutan, terutama Professor X yang sangat diincar oleh En Sabah Nur.

Memang, X-Men : Apocalypse memiliki plot utama yang sangat linear. Motivasi para karakter-karakternya juga tampil sangat generik. Mungkin, X-Men : Apocalypse hanya mengusung plot cerita yang generik dengan film-film manusia super yang ada. Tetapi, seharusnya tema-tema generik ini bukanlah suatu kesalahan atau dosa besar bagi film-film manusia super. Toh, tema-tema ini sudah banyak digunakan oleh kebanyakan film-film manusia super dan beberapa film juga bisa menampilkan sesuatu yang menyenangkan.


Berbeda dengan X-Men : Apocalypse, tema baik lawan jahat yang biasa ada di dalam film manusia super terkesan menjemukan. Bryan Singer terlihat malas untuk mengerahkan segala upaya agar filmnya ini bisa memberikan sesuatu yang menyenangkan bagi penontonnya. Usaha keras yang dilakukan oleh Bryan Singer adalah memunculkan trivia-trivia karakter komik X-Men yang bisa dibilang sebagai fans service. Alih-alih ingin dekat dengan para fans, Bryan Singer lupa bahwa film ini bukan hanya ditujukan bagi mereka.

Mitos bagi film X-Men yang akan porak poranda di film ketiga, lagi-lagi terwujud kembali. X-Men : Apocalypse kembali menjadi rekam jejak buruk bagi trilogi terbaru dari X-Men. Apocalypse tak memiliki cara untuk menjadikan filmnya terasa segar bagi penontonnya. Padahal, X-Men : Apocalypse memiliki rumus-rumus baru yang seharusnya bisa dimanfaatkan lebih lagi. Hal-hal itu adalah karakter-karakter baru dan juga villain yang sebenarnya berpotensi untuk memiliki kompleksitas dalam penyelesaian plot utama ceritanya. Sayangnya, Bryan Singer luput memanfaatkan itu.


Pun, karena tahu bahwa kinerjanya dalam Days of Future Past telah disukai oleh banyak orang, akhirnya Bryan Singer melakukan beberapa hal yang repetitif di dalam X-Men : Apocalypse. Sayang, meski adegannya repetitif, ternyata keberuntungannya tak lagi menyertai Bryan Singer. Semua formula itu malah terkesan menjemukan, terutama adegan Quicksilver yang berusaha untuk sekali lagi memberikan impresi kepada penontonnya. Tetapi, tak ada charm yang hadir kembali di dalam adegannya. Bahkan, terkesan membosankan.

Gegap gempita X-Men : Apocalypse pun tak bisa kembali hadir lewat adegan aksi dan euforia visual efek yang juga absen di dalam filmnya. Visual efek dengan warna-warna cantik di dalam trailernya, ternyata tak hadir begitu menawan di dalam filmnya. Bahkan, pameran visual efek itu cenderung tak ada. Pun, adegan pertempuran akhir di dalam film X-Men : Apocalypse juga belum bisa dikemas dengan cukup menarik.


Hasilnya, setelah The Last Stand , X-Men : Apocalypse menjadi rekam jejak buruk baru bagi trilogi X-Men., X-Men : Apocalypse hadir menjadi seri ketiga yang tak bisa memberikan sebuah presentasi film manusia super yang menyenangkan. Plot yang generik dan tampilan yang repetitif tak bisa dikemas dengan baik oleh Bryan Singer sehingga Apocalypse akan terasa menjemukan. Bryan Singer memilih untuk memunculkan karakter-karakter baru tanpa ada dorongan untuk memberikan ruang bagi mereka agar berkembang. Pun, Bryan Singer terlihat ingin sekali dipuji oleh para fans X-Men sehingga memberikan banyak sekali Fans Service. Meski begitu, Singer lupa bahwa film ini bukan hanya ditujukan bagi mereka.


5. MY STUPID BOSS (2016) REVIEW : Sketsa Komedi Adaptasi


Film komedi menjadi salah satu genre film yang riskan untuk dibuat. Hal itu dikarenakan sebuah film tak bisa memberikan generalisasi selera humor penonton yang disampaikan di dalam filmnya. Sehingga, perlu taktik untuk –setidaknya –menarik minat penonton untuk menyaksikan film tersebut. Dan My Stupid Boss yang dinaungi oleh Falcon Pictures memiliki cara untuk memberikan teaser menarik dan berhasil memberikan daya tarik bagi penontonnya.
 
Di tengah film-film besar, film-film Indonesia di tahun ini berhasil memperoleh pendapatan jumlah penonton yang fantastis. Sehingga, My Stupid Boss memiliki motivasi untuk mendapatkan penonton sebanyak-banyaknya. Upi sebagai sutradara memasang nama-nama besar untuk bermain di dalam My Stupid Boss. Meski lagi-lagi, Reza Rahadian tampil lagi di sebuah film, tetapi penampilannya kali ini –lagi-lagi –membuahkan inovasi.

My Stupid Boss berhasil menciptakan gegap gempita tawa yang  luar biasa lewat trailer filmnya. Hanya saja, jelas akan menjadi ketakutan besar bagi penontonnya untuk berekspektasi tinggi untuk melihat hasil keseluruhannya. My Stupid Boss memang tak berusaha untuk membangun nuansa jenaka yang berlebihan di keseluruhan 100 menitnya. Tetapi, bagaimana My Stupid Boss ternyata membangun cerita dan karakter yang menyenangkan di dalam filmnya menjadi sebuah medium efektif untuk bersenang-senang bagi penontonnya. Kehidupan rantau yang di negara tetangga memang susah, hal itu dirasakan oleh Diana (Bunga Citra Lestari) ketika harus mendampingi suaminya bekerja di tanah rantau. Kehidupannya sebagai Ibu rumah tangga biasa menjadi sesuatu yang menganggu. Maka dari itu, Diana mencoba untuk mencari kesibukan lain dengan mencari pekerjaan juga di sana. Berbekal dengan kenalan dari teman suaminya, Diana mendapatkan pekerjaan di perusahaan milik teman suaminya.

Tetapi, dengan adanya pekerjaan tersebut tak lantas membuat kehidupan Diana bertambah senang. Lantaran, Diana harus berhadapan dengan atasannya yang luar biasa aneh dan menyebalkan. Bossman (Reza Rahadian), atasan Diana yang menurutnya selalu memiliki berbagai cara untuk membuatnya kesal. Permintaannya selalu tak pernah masuk akal menurut Diana. Hingga pada akhirnya, Diana kesal dan berusaha untuk melakukan perhitungan dengan Bossman. 


Perilaku mengesalkan yang dilakukan oleh Reza Rahadian sebagai Bossman inilah yang akan dinantikan penonton di setiap menit dari My Stupid Boss. Penonton akan menunggu lagi dan lagi apa yang akan diperbuat oleh Reza Rahadian untuk membuat Bunga Citra Lestari kesal. Sehingga, My Stupid Boss memang tak berusaha untuk memberikan bahan candaan yang slapstick, semuanya akan cenderung alami sehingga penonton tak dipaksa untuk tertawa sepanjang menit.

Upi sebagai sutradara tahu bagaimana menemukan daya pikat dari suatu karakter, dan berbekal poin itulah My Stupid Boss bisa dikategorikan menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk dinikmati. Setiap karakter di dalam film ini memiliki cara atau pun upaya untuk pada akhirnya dapat bersimpati dengan para penontonnya. Bukan hanya Bossman dan Diana sebagai karakter utama, tetapi ada karakter-karakter pendukung lain yang dapat memeriahkan segala gegap gempita sketsa komedi di dalam film My Stupid Boss.

Tetapi, sayangnya pula, My Stupid Boss terlalu sibuk untuk menggerakkan karakter-karakternya untuk berkembang. Sehingga, plot utama di dalam film My Stupid Boss pun tak menemukan titik akhir sebagai suatu konklusi utama. Jika di dalam sebuah film drama, memiliki tiga babak di satu kesatuan filmnya. Maka, My Stupid Boss memiliki tiga poin itu yang repetitif ditemukan di sepanjang filmnya. Alih-alih menjadi satu kesatuan film yang utuh, My Stupid Boss malah terkesan menjadi sebuah film dengan sekuens-sekuens komedi yang terlalu banyak. 


Plot utama dari My Stupid Boss memang pada dasarnya adalah menceritakan bagaimana tingkah laku Bossman dan perjuangan Diana dalam menghadapinya. Tetapi, yang terjadi malah My Stupid Boss ingin berusaha menunjukkan bagian-bagian terlucu dari novelnya dan memvisualisasikan itu. Alhasil, dengan banyaknya konflik-konflik itu, plot utama dari My Stupid Boss pun tak bisa menjadi satu. Dampaknya, beberapa pergerakan plotnya akan terkesan berjalan lambat, dan tak tahu untuk mengakhiri filmnya.

Maka, yang terjadi adalah, My Stupid Boss memiliki satu subplot turning over yang dibuat untuk mengakhiri filmnya. Tetapi, segala cara yang dilakukan untuk memberikan suatu turning over itu malah terkesan dipaksakan karena My Stupid Boss kebingungan untuk pamit dengan penontonnya. Sisi-sisi humanis berusaha ditonjolkan, dengan tujuan untuk membangun setup baru agar memberikan celah film ini mendapatkan sebuah sekuel. Apalagi, buku dari My Stupid Boss tak semuanya mendapatkan porsi di dalam filmnya.

Tak diperlukan lagi bagaimana tata produksi dari My Stupid Boss. Gradien warna dominan merah, hijau, dan kuning digunakan untuk memberikan nuansa di dalam filmnya. Sayangnya, bagaimana My Stupid Boss yang berupa sketsa komedi ini ingin membangun nuansa komikal seperti yang dilakukan oleh film Amelie. Sehingga, apa yang dilakukan di dalam film My Stupid Boss terkesan seperti menyalin beberapa template produksi dalam film itu. Bukan hanya nilai produksi, tetapi juga musik-musiknya yang juga bisa dibilang memiliki nuansa yang sama. 


Tetapi pada akhirnya, My Stupid Boss berhasil mencapai tujuannya untuk menghibur para penontonnya tanpa berusaha keras menjadikannya sebagai sebuah film komedi yang lebih mengutamakan simpati pada setiap karakternya. Sehingga, itulah yang menjadi kekuatan utama dari My Stupid Boss itu sendiri. Meski begitu, pergerakan plot dari My Stupid Boss kurang terasa dinamis dan membuatnya memaksa untuk mengakhiri filmnya. Pun, nilai produksi filmnya yang terasa familiar dengan beberapa film luar negeri yang diadaptasi mentah. Tetapi, hal tersebut tak dapat mengurangi bagaimana My Stupid Boss adalah film yang menyenangkan untuk diikuti. 


6. THE DIVERGENT SERIES : ALLEGIANT (2016) REVIEW : The Lowest Point of This Franchise


Dan sekali lagi, buku-buku kategori young-adult menjadi sebuah tren yang cukup gemilang di tanggabox office. Tetapi, lambat laun hype film adaptasi dari buku-buku young-adult semakin menurun. Hal itu terlihat ketika bagian final dari Mockingjay tak memiliki hasil opening yang memuaskan, meskipun masih berada di atas rata-rata. Menjadikan seri terakhir di adaptasi buku kategori young-adult adalah sebuah tren baru untuk meningkatkan keuntungan. Dan buku dari Veronica Roth juga mendapatkan perlakuan yang sama untuk adaptasi buku terakhir dari seri Divergent.

Pintarnya, film dari adaptasi buku terakhir milik Divergent ini tak serta merta menggunakan embel-embel‘Part 1’ atau ‘Part 2’ di akhir judul filmnya. Allegiant, buku terakhir dari seri Divergent ini membagi dua filmnya dengan dua judul yang berbeda. Allegiant, untuk seri pertama dan Ascendant, untuk film penutup dari seri Divergent. Dan di  tahun ini, Allegiant rilis untuk menjembatani penutup dari buku Divergentyang tetap ditangani oleh Robert Schwentke sebagai sutradara.

The Divergent Series : Allegiant tampil tak cukup memuaskan di tangga box office. Ini jelas bukan pertanda baik bagi film-film adaptasi buku dengan kategori young-adult yang akan mulai dibuat dan dirilis oleh setiap rumah produksi. Performa yang tak meyakinkan di tangga box office ternyata berbanding lurus dengan performa keseluruhan dari film yang berdurasi hingga 120 menit ini. The Divergent Series : Allegiant memiliki performa yang mulai menurun dan tak memiliki satu poin yang jelas untuk dicari dan diselesaikan di film ini. 


Tris (Shailene Woodley) dan kawan-kawannya sudah berhasil mengalahkan Jeanine (Kate Winslet). Tris hidup bersama dengan para non-faksi yang sekarang menjadi kawanan yang kuat dengan Evelyn (Naomi Watts) sebagai pemimpin mereka. Tetapi, apa yang dilakukan oleh Evelyn ternyata semakin mencurigakan. Hal tersebut membuat Tris dan kawan-kawannya ingin pergi dari tempat tinggal barunya dan ingin mengetahui apa yang ada di balik tembok kota Chicago paska kehancuran.

Tris dan kawanannya lari dari golongan non-faksi untuk menemukan kejelasan apa yang terjadi di balik dinding Chicago. Dan pada akhirnya, mereka bertemu dengan petinggi dari sebuah organisasi yang sedang mengawasi mereka di balik tembok Chicago bernama David (Jeff Daniels). Di sana, Tris dikenalkan dengan orang-orang baru yang sedang berusaha untuk mencari kebenaran tentang para penghuni faksi dan Divergent. Tetapi, organisasi tersebut juga ingin menguasai Tris sebagai alat pemberontakan. 


Film-film yang diadaptasi dari buku-buku kategori young-adult memang memiliki formula yang sama. Seri The Hunger Games bisa jadi menjadi pionir dari adaptasi film buku young-adult. Maka, satu persatu rumah produksi mengklaim buku-buku laris kategori young-adult untuk dijadikan setup baru untuk menghasilkan uang. Summit Entertainment setelah kehilangan The Twilight Saga, The Divergent Series adalah franchise baru yang mendatangkan uang bagi Summit Entertainment.

Bagaikan sebuah sleeper hit, The Divergent Series berubah menjadi sebuah franchise besar yang mendatangkan uang. Tetapi, di setiap serinya tak dapat menghantarkan presentasi film yang benar-benar cemerlang. Penurunan kualitas terjadi di Insurgent, tetapi poin terendah dalam seri ini terdapat di film paling barunya yang sedang rilis tahun ini. Tak disangka, dengan visual efek yang megah dan terlihat elegan, The Divergent Series : Allegiant malah jatuh menjadi sajian yang sangat-sangat membosankan dan kebingungan.

Plot cerita di dalam film The Divergent Series : Allegiant ini hanya memiliki poin utama yang sangat kecil yang berusaha diraih. Tetapi, Robert Schwentke terlihat sangat malas untuk menjelaskan dunia milikThe Divergent Series : Allegiant yang semakin memiliki komplikasi dalam masalahnya. Banyaknya cabang cerita dan karakter-karakter yang tak terurus membuat The Divergent Series : Allegiant bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk diikuti di 120 menit miliknya.


Banyak sekali karakter yang bermunculan sebagai formalitas adaptasi dari buku milik Veronica Roth. Penonton sama sekali tak diajak untuk bersimpati atas karakter-karakter yang ada di dalam film ini. Kerumitan plot cerita dengan cabang-cabang pertanyaan di dalam film ini akan semakin bertambah. Tetapi, Robert Schwentke terlihat amat malas untuk menerjemahkan naskah yang ditulis ramai-ramai oleh Noah Oppenheim, Adam Cooper, dan Bill Colage.

Dari 120 menit yang ada, alih-alih berusaha menjelaskan dunia milik The Divergent Series : Allegiantyang ada, Robert Schewentke malah terlalu asyik menggambarkan visualnya yang tak terlalu memiliki signifikansi dari sebelumnya. Lubang-lubang cerita milik The Divergent Series : Allegiant benar-benar besar dan tak berusaha dijawab satu pun oleh sang sutradara. Dengan durasi 120 menit, jelas itu membuat penontonnya sia-sia duduk lama hanya menantikan kredit bergulir.

Belum lagi bangunan karakter yang semakin lama semakin tak karuan. Tak ada sama sekali dorongan kuat yang memberikan mereka alasan kenapa mereka ada di dalam film The Divergent Series : Allegiant. Pun, penonton akan dengan mudah lupa bahkan kebingungan untuk memahami setiap detil cerita dan karakter-karakter film yang  berusaha disampaikan oleh Robert Schwentke. Semua elemen dalam aspek pembangunan cerita terasa gagal memberikan relevansi kepada penontonnya. 


Robert Schwentke sudah seperti membiarkan cerita di dalam film ini memiliki lubang besar. Schwentke seperti tak ada semangat dan menyuruh penontonnya untuk mencari sendiri jawaban atas lubang-lubang cerita dalam filmnya. Pun terlihat bagaimana para aktor dan aktris terkesan semakin malas untuk memberikan performa terbaiknya. Tetapi, Shailene Woodley adalah penyelamat meskipun screening timemiliknya semakin menipis dan Theo James semakin memperburuk 120 menit milik The Divergent Series : Allegiant.

The Divergent Series : Allegiant seperti hilang harap untuk menjembatani seri terakhir dari seri Divergentini. Pengisahannya yang semakin malas dan pembangunan karakter yang semakin seadanya membuat penonton tak memiliki relevansi dengan dunia milik Tris dan kawan-kawannya. Aspek yang membantuThe Divergent Series : Allegiant dalam bertutur hanyalah efek visual yang juga hadir tak semegah seri kedua. The Divergent Series : Allegiant adalah poin terendah yang pernah dihadirkan oleh seri Divergentyang tak memiliki setup terlalu kuat. Dan nasib The Divergent Series : Ascendant hanyalah sebagai formalitas untuk penutup kisah.   


7. BATMAN V SUPERMAN : DAWN OF JUSTICE (2016) REVIEW : The Wasted 151 Minutes


Benang merah yang porak poranda di setiap film-film adaptasi DC Comics menjadi sebuah keputusan bagi Warner Bros untuk membuat ulang setiap filmnya. Sehingga, Warner Bros akan memiliki satufranchise superheroes besar yang akan disajikan kepada penontonnya di setiap tahun. Banyak sekali film-film DC yang tak memiliki respon yang baik. Dan Warner Bros memulai line up baru dari karakter-karakter manusia super DC Comics dari tahun 2013.
 
Man of Steel adalah line-up pertama dari DC Extended Universe yang digarap oleh Zack Snyder. Film ini mendapatkan respon positif dan negatif yang sama-sama seimbang. Meski begitu, raihan Box Office yang cukup besar membuat DC Extended Universe pun dengan segera mendapatkan lampu hijau. Maka, hadirlah sebuah film pengenalan selanjutnya yaitu Batman V Superman : Dawn of Justice. Alih-alih mengenalkan Batman secara mandiri, Zack Snyder menggarap Batman V Superman : Dawn of Justiceyang sebenarnya memiliki resiko.

Setelah Man of Steel yang membuat penontonnya menjadi dua kubu, Zack Snyder pun lagi-lagi berulah lewat Batman V Superman : Dawn of Justice. Dengan adanya dua manusia super yang berada di dalam filmnya, jelas film ini membutuhkan banyak sekali penjelasan agar karakternya bisa memiliki relasi dengan penontonnya. Dan Zack Snyder penuh dengan ambisi dan keangkuhan di dalam Batman V Superman : Dawn of Justice yang sebenarnya menyerang dirinya sendiri. 


Batman V Superman : Dawn of Justice menceritakan bagaimana awal mula Bruce Wayne (Ben Affleck) mengenal sosok Kal-El (Henry Cavill) yang sedang berusaha menyelamatkan seisi kota. Tetapi, i’tikad baik dari Kal-El tak dipersepsi lain oleh Bruce Wayne yang menganggap bahwa Kal-El sedang berusaha memporakporandakan seisi kota Metropolis. Dan salah satu korbannya adalah bangunan milik Bruce Wayne yang hancur saat pertarungan itu.

18 Bulan kemudian, Kal-El yang sudah dipuja-puja oleh warga Metropolis ternyata dijebak oleh seseorang. Kal-El atau biasa dikenal oleh orang-orang sebagai Superman harus ditindak secara hukum. Hal itu karena salah seorang karyawan dari perusahaan milik Bruce Wayne yang menggugat Superman sebagai pelaku tindak kejahatan. Semua yang gugatan yang dilayangkan kepada Superman adalah ulah adu domba yang dilakukan oleh Lex Luthor (Jesse Eisenberg). 


Intrik politik yang dimiliki oleh Batman V Superman : Dawn of Justice ini tak dapat dipungkiri memang sangat menarik untuk diikuti. Dasar cerita dari Batman V Superman : Dawn of Justice ini sendiri memiliki konten yang kuat dan lebih menarik jika dibandingkan oleh Man of Steel, yang juga diarahkan oleh Zack Snyder. Batman V Superman : Dawn of Justice memiliki potensi menjadi sebuah film manusia super yang kuat dan segar bila diarahkan dengan sangat baik. Apalagi, Batman V Superman : Dawn of Justiceadalah startup baru menuju DC Extended Universe.

Dengan durasi 151 Menit, Batman V Superman : Dawn of Justice harusnya memiliki banyak ruang untuk menggerakkan setiap cerita dengan baik. Sayangnya, ekspektasi agar Batman V Superman : Dawn of Justice tampil lebih prima dibandingkan dengan Man of Steel –terlebih dengan dasar cerita yang lebih kompleks –harus dikesampingkan. Naskah yang ditulis oleh Chris Terrio tak bisa tampil kuat dalam memvisualisasikan kompleksitas dasar cerita dalam komiknya. Sehingga, Plot cerita dalam Batman V Superman : Dawn of Justice tak dapat bergerak dengan dinamis.

Keperluan penonton adalah untuk mendapatkan penuturan cerita yang lebih lengkap agar dapat bersimpati dengan setiap karakternya. Sayangnya, Chris Terrio tak dapat menuliskan setiap detil cerita yang akhirnya filmnya pun terkesan memiliki babak di setiap bangunan ceritanya. Bukan hanya itu, motif setiap karakter pun semakin buram. Belum memiliki cara bertutur yang baik, naskah Batman V Superman : Dawn of Justice terlalu sibuk bermain-main dengan pesan simbolik yang diselipkan ke dalam naskahnya. 


Dengan pesan simbolik yang disampaikan, hal itu bisa jadi diharapkan dapat membantu bagaimanaBatman V Superman : Dawn of Justice untuk bercerita tentang dunianya yang semakin kompleks. Nyatanya, hal tersebut tidak membantu apapun dalam penceritaan filmnya. Penonton membutuhkan penjelasan yang lebih konkrit tentang alasan Bruce Wayne dan Kal-El hingga saling bermusuhan. Sayangnya, hal tersebut tak terlihat dengan detil dan jelas.

Zack Snyder memasarkan filmnya untuk para pembaca komik dan kesalahannya adalah menganggap setiap penontonnya tahu setiap motif karakternya. Penonton yang bukan pembaca komik akan berusaha meraba sendiri alasan-alasan tersebut. Terlihat bagaimana setiap karakternya --baik protagonis maupun antagonis --tak memiliki urgensi untuk tampil dan ikut andil dalam setiap konflik di filmnya.  Hanya bermodal nama karakter manusia super yang sudah terpampang dalam posternya, bukan berarti penonton tak perlu tahu siapa mereka secara lebih jelas.

Lemahnya naskah dari Batman V Superman : Dawn of Justice pun tak berusaha ditutupi oleh Zack Snyder dalam sisi pengarahannya. Alih-alih menutupi, Zack Snyder terlihat terlalu asyik mengeluarkaneaster egg yang ditujukan kepada fanboy komik DC untuk pemanasan menuju Justice League. Dengan adanya easter egg yang bermunculan tersebut, jelas terlihat bagaimana pretensiusnya Warner Bros dan DC untuk segera menampilkan seluruh pahlawannya tanpa perlu penjelasan lebih di setiap karakternya. Sehingga, 2 jam pertama milik Batman V Superman : Dawn of Justice adalah sebuah kekacauan besar milik Zack Snyder dalam bertutur. 


Dan beruntungnya, 20 menit terakhir film Batman V Superman : Dawn of Justice menyisakan pertarungan trio kawakan manusia super milik DC. Pertarungan final yang disajikan kepada penontonnya mungkin akan sedikit membangkitkan penonton non fans-nya yang butuh dihibur. Dengan visual efek yang masih digarap serius, jelas 20 menit terakhir adalah pembayaran penuh akan admisi tiket yang mereka bayar. Meskipun, sekali lagi dua manusia super yang menjadi andalan harus kalah saing dengan munculnya Wonder Woman.

Yang perlu dipertanyakan adalah ketika Zack Snyder tak memaksimalkan kamera IMAX yang ia punya untuk menyajikan 20 menit final battle dalam Batman V Superman : Dawn of Justice. Alih-alih terlihat menarik, Zack Snyder menggunakannya untuk terlihat lebih artistik dan puitis. Meski yang disajikannya hanyalah sebuah estetika artistik yang terlihat palsu dan dibuat-buat. 


Sebagai film dengan memasang nama manusia super paling mahsyur, Batman V Superman : Dawn of Justice tak memiliki presentasi yang memuaskan. Bagi para penggemar, jelas Batman V Superman : Dawn of Justice adalah sebuah movie event besar tahun ini. Tapi bagi para non-fan, Batman V Superman : Dawn of Justice adalah sebuah visualisasi yang sia-sia dan berantakan dengan dasar cerita yang sangat menarik. Hasilnya, tak ada rasa simpati yang dihasilkan oleh Snyder agar dapat terkoneksi dengan setiap karakternya apalagi dengan twist ending yang terasa sangat hambar. Batman V Superman : Dawn of Justice membuang potensinya dengan komposisi yang tak tertata. Sayang film Batman V Superman : Dawn of Justice pun dirilis dalam format IMAX 3D, berikut hasil rekapan format IMAX 3D. Efek ini hanya tampil ketika filmnya direkam dengan kamera IMAX. Dan hal itu hanya tampil beberapa kali di dalam filmnya. Pun dengan efek Pop Out, mungkin ada beberapa butiran salju dan asap yang muncul. Hanya saja, hal itu ada ketika adegannya sedang direkam dengan kamera IMAX. Jika tak memiliki format IMAX di kota anda, lebih disarankan menontonnya dalam format dua dimensi saja agar tak pusing. Tetapi, jika memiliki teater IMAX perlu menyaksikannya dengan format ini untuk menambah pengalaman menonton yang maksimal. Meskipun, Batman V Superman : Dawn of Justicetetap memiliki presentasi yang lemah.

8. ZOOTOPIA (2016) REVIEW : Animation Fable Full Of Social Issue


Banyak sekali cara yang dilakukan oleh perfilman hollywood untuk berusaha menyindir isu sosial dan politik tetapi dengan pemilihan medium yang berbeda. Medium itu adalah lewat genre film yang dipilih oleh sang sutradara untuk menumpulkan sensitifitas dari isu tersebut. Dan salah satu rumah produksi film animasi terbesar di Hollywood, Walt Disney Studios pun berusaha untuk menyindir beberapa isu sosial lewat film-film animasinya. Tetapi, tak melupakan segmentasi dari sebuah film animasi agar memiliki kemasan yang menarik dan menyenangkan.
 
Dan tahun ini, Disney Studios datang dengan sebuah fabel animasi tiga dimensi berjudul Zootopia. Pemilihan terminologi Zootopia ini pun menjadi sebuah satu istilah yang menarik untuk diteliti. Zootopiaseperti sebuah gambaran keadaan dunia yang sedang mengalami distopia atau paska kehancuran di mana para binatang berevolusi sehingga mengalami pergeseran fungsional menjadi sosok manusia dengan segala kodratnya.  

Proyek yang diarahkan oleh Byron Howard dan Rich Moore ini tak hanya memiliki terminologi judul yang menarik, tetapi juga memiliki konflik cerita yang mengangkat isu kaum minoritas dan problematika ras. Pintarnya, Byron Howard dan Rich Moore tahu untuk mengemas filmnya menjadi sebuah film animasi universal dan dapat dinikmati oleh segala usia. Sehingga, Zootopia adalah sebuah film fabel animasi tiga dimensi satir yang tak hanya penuh dengan intrik, tetapi penuh dengan petualangan buddy-cop penuh misteri  yang menyenangkan. 


Pada rekaan dunia milik Zootopia, para binatang berevolusi dan tak sesuai dengan kodratnya. Binatang yang terbagi menjadi dua kelas, predator dan victim, dapat hidup berpasangan dan menjalani kehidupannya dengan tenang. Dengan adanya evolusi tersebut, tak memungkinkan bahwa setiap kelas binatang memiliki mimpinya.  Itu pun yang terjadi pada Judy Hopps (Ginnifer Goodwin), kelinci kecil yang berkeinginan untuk menjadi seorang polisi.

Hal itu bertentangan dengan norma yang ada bahwa seorang kelinci kecil tak bisa kuat menjadi seorang polisi. Nyatanya, dia lolos menjadi seorang polisi dan ditugaskan ke pusat kota Zootopia. Kota tersebut sedang mengalami teror yang menyebabkan 14 mamalia hilang dari kota. Judy yang pada awalnya hanya ditugaskan sebagai tugas penjaga parkir, mengajukan diri sebagai detektif untuk menemukan 14 mamalia tersebut. Dibantu oleh Nick Wilde (Jason Bateman), rubah licik yang pada awalnya hanya menjadi informan tentang 14 mamalia hilang tersebut. 


Isu minoritas dan ras di dalam film ini menjadi satu poin penting yang perlu digarisbawahi oleh penontonnya. Meskipun, hal tersebut tak terlalu dibahas serius karena Byron Howard dan Rich Moore menggunakan genre film animasi yang dapat menumpulkan isu sosial yang sensitif itu. Juga, Zootopiamencari keseimbangan di dalam plot ceritanya agar film animasi ini masih memiliki unsur yang menyenangkan dengan subplot cerita petualangan yang seru.

Tetapi di samping unsur-unsur seru yang mereka gunakan di dalam film ini, banyak sekali pesan yang ingin mereka sampaikan lewat naskah dan juga gambaran karakternya. Isu stereotyping, pengakuan seorang minoritas, dan masalah-masalah rasial yang menjadi sesuatu yang relevan di dalam film ini. Meskipun film ini adalah film animasi, Zootopia memiliki tujuan dan motivasi yang kuat tentang urgensi hadirnya film ini. Apalagi, masalah minoritas sebuah kaum yang sebenarnya adalah masalah lama yang selalu hadir di setiap generasi.

Adanya stratifikasi sosial di dalam suatu ras yang menyebabkan hal itu menjadi suatu budaya yang turun temurun dalam menjalankan fungsi mereka inilah yang berusaha mereka angkat. Hal itulah yang berusaha digambarkan oleh Byron Howard dan Rich Moore lewat karakter-karakternya. Dengan penggunaan klasifikasi binatang menjadi dua kelas ini agar mempermudah penggambaran dan tidak menyerang suatu kaum tertentu. Maka, Zootopia bukan hanya sebuah film animasi bersenang-senang tetapi ada tujuan jelas yang berusaha diperjuangkan di dalam filmnya.  


Meski dengan pesan-pesan yang cenderung sangat pretensius dan serius, Byron Howard dan Rich Moore tak lupa bahwa secara garis besar segmentasi sebuah film animasi adalah untuk anak-anak. Sehingga,Zootopia masih menyajikan komedi-komedi segar lewat karakter Flash, seekor kukang, yang dapat menimbulkan tawa sangat besar. Pun, hal itu juga tak jauh-jauh dari sebuah sindiran yang diselipkan tetapi sekali lagi ditumpulkan sebagai sebuah candaan yang menimbulkan tawa luar biasa.

Di mana Flash digambarkan sebagai petugas yang sedang bekerja di sebuah korporasi milik negara.
Flash digambarkan sebagai seorang kukang memiliki suatu hal kontradiktif dengan nama dan juga tempat ia bekerja. Kukang yang terkenal sebagai hewan malas memiliki nama Flash yang memiliki arti cepat ini adalah bukanlah kebetulan. Juga, tempatnya sebagai petugas administrasi negara yang melayani warga sipil dengan cepat juga digunakan sebagai sindiran tentang petugas administrasi negara yang terkadang memiliki kinerja yang tak cepat.

Poin yang juga tak terlupakan di dalam film animasi milik Byron Howard dan Rich Moore adalah karakter-karakter yang menggemaskan. Sehingga, penonton pun akan berbondong-bondong mulai menyukai karakter-karakter di dalam film Zootopia. Sehingga, Zootopia sudah dapat menetapkan suatubrand yang kuat di mana dapat meningkatkan penjualan lewat merchandise yang dijual oleh Disney.Judy Hopps dan Nick Wilde akan menjadi idola terbaru, bukan hanya untuk anak-anak tetapi juga untuk setiap penontonnya. 


Akan banyak sekali yang berusaha sinis dengan film-film animasi yang terkesan tak punya tujuan. Tetapi, banyak sekali film animasi generasi sekarang yang tak hanya menawarkan unsur senang-senang dan kekanak-kanakan. Zootopia adalah salah satunya, di mana dia memiliki tujuan dan motivasi yang kuat dengan isu-isu sosial berat tanpa melupakan kodratnya sebagai film animasi yang ditujukan sebagai untuk anak-anak. Hal itu tak ubahnya hanya untuk sebagai upaya dari Byron Howard dan Rich Moore untuk menumpulkan isu-isu sensitif itu dan menertawakan sindiran-sindiran tersebut. Sehingga, lagi-lagiDisney memiliki Zootopia menjadi salah satu film animasi yang kuat sejauh ini. Film ini pun dirilis dalam format 3D dan IMAX 3D. Sayangnya, Indonesia tak kebagian format IMAX 3D. Maka, berikut rekapan format 3D-nya.Disney selalu bermain-main dengan poin yang satu ini. Dan Zootopia adalah salah satunya yang memiliki kedalaman yang dahsyat. Apalagi dengan panorama-panorama indah di setiap sudut kotaZootopia. Tak cukup banyak dan malah hampir tak ada sama sekali unsur ini di dalam filmnya. Ya, mungkin hanya beberapa saja di sepanjang 100 menit film ini. Zootopia adalah salah satu film animasi tiga dimensi yang membuat penontonnya lupa dengan efek tiga dimensinya. Itu berkat konten dan keseruan yang ditawarkan oleh konten dari filmnya sendiri. Sehingga, coba saksikan Zootopia dalam format dua dimensi saja dan cari layar terbesar yang ada di kota anda.

9.ROOM (2015) REVIEW : Wide Perspective In A Small Room


Siapa yang bisa menggambarkan secara detil dan mendeskripsikan dunia mereka? Tak ada yang bisa. Setiap manusia pun hanya terbatas pada sebuah regional tertentu untuk dapat mewakili deskripsi tentang dunia mereka. Itu pun mereka harus melakukan sebuah pemahaman tentang bagaimana dunia mereka terbentuk lewat proses kesepakatan bersama. Hal itu dilakukan agar setiap individu dapat memiliki perspektif yang sama mengenai dunia di wilayah yang mereka huni.
 
Lantas, bagaimana jika dunia yang kalian tahu bukan hanya terbatas oleh wilayah tetapi juga dibatasi oleh dinding dua sisi yang dingin? Konstruksi pemikiran akan dunia akan jauh lebih sempit lagi. Itu lah yang mendasari sebuah cerita fiksi karya Emma Donoghue di dalam sebuah bukunya, Room. Perspektif lain yang digunakan untuk memahami dunia ini menjadi sebuah cerita menarik yang mengundang Lenny Abrahamson untuk mengadaptasinya menjadi gambar bergerak berdurasi 120 menit.

Room memiliki sebuah premis cerita menarik dengan presentasi kuat yang akan mengiris penontonnya di setiap menit. Film arahan Lenny Abrahamson ini menjadi salah satu nominator di kategori Best Picture pada Academy Awards tahun ini. Performa yang tak diragukan lagi dari Brie Larson sebagai pemeran utama di dalam film ini patut diganjar Aktris Terbaik di banyak ajang film bergengsi tahun ini. Jelas,Room bukan sebuah film dengan perspektif baru yang sembarangan. Film ini menyimpan banyak sekali momen luar biasa yang tak pernah dirasakan sebelumnya. 


Keterbatasan melihat dunia yang lebih luas jelas akan menyakitkan banyak orang, apalagi hanya berada di dalam sebuah ruangan sempit dengan fasilitas seadanya. Itulah yang dialami oleh Joy Newsome (Brie Larson) di 5 tahun terakhirnya. Dia harus hidup dengan ruang yang sangat terbatas bersama dengan anaknya bernama Jack (Jacob Tremblay). Joy berusaha mati-matian untuk membangun realita yang nyata tentang dunia yang hanya terbatas di ruangan yang dia tempati.

Dan pada akhirnya, Jack hanya mengetahui bahwa dunia yang dia huni memang hanya terbatas oleh ruangan yang mereka tempati. Di luar itu, Jack sudah menganggapnya sebagai luar angkasa yang luas dengan sistem orbit yang berbeda. Berusaha ingin membuat Jack memiliki kehidupan yang lebih layak, Joy berusaha untuk mengeluarkan Jack dari tempat tersebut. Tetapi, usahanya akan sangat mengalami kesusahan karena mereka adalah korban penyekapan yang dilakukan oleh Nick (Sean Bridgers). 


Apa yang dilihat oleh Jack sebagai ‘dunia’ miliknya adalah hasil dari suatu pemahaman yang telah dia sepakati bersama dengan Joy sebagai ibunya. Sehingga, Jack muncul sebuah perspektif yang lain tentang dunia yang ada. Pun begitu pula dengan semua orang yang berusaha memberikan simbol-simbol tentang dunia mereka masing-masing di wilayah mereka. Dengan sistem tanda dan lambang tersebut, mereka dapat mengklasifikasi dunia menurut pandangan mereka masing-masing.

Meskipun berbeda, akan ditemukan sebuah benang merah tentang dunia yang mereka huni. Tetapi, akan diperlukan adaptasi tentang sistem tanda dan lambang tersebut jika seseorang dari wilayah lain untuk dapat memahami dunia yang dari perspektif baru. Film ini berusaha untuk memberikan sebuah gambaran tentang bagaimana setiap karakternya mengkonversi apa yang dilihat ke dalam sebuah simbol yang akan mereka pahami untuk membentuk proses komunikasi. Seperti yang dilakukan oleh Joy dan Jack agar mereka berdua dapat berinteraksi satu sama lain.

Bagusnya, Lenny Abrahamson mengadaptasi buku milik Emma Donoghue menjadi sajian getir yang sangat kuat. Lenny membangun sebuah ikatan emosi yang sangat nyata yang ditransfer kepada Brie Larson dan Jacob Tremblay sebagai aktor-aktris utama penggerak cerita sederhana di dalam filmnya. Alhasil, imbas yang dirasakan oleh penontonnya akan sangat besar dan penonton akan dengan mudah merasa simpati dengan karakter-karakternya. Dan hal itulah yang digunakan sebagai kekuatan utama di dalam film Room ini. 


Dengan keterbatasan tempat untuk mengembangkan ceritanya, bukan berarti film ini pun akan terbatas dalam presentasinya. Kesempitan ruangan yang dihuni oleh Joy dan Jack ini akan menghantui penontonnya hingga ke akhir film. Meskipun Room terkesan memiliki dua babak di dalam filmnya, tetapiRoom memiliki keindahan di setiap babaknya. Di babak 60 menit pertama Lenny berusaha memberikan tensi ketegangan luar biasa dengan klimaks yang memuncak.  

Hanya saja, akan terasa lebih menggetarkan di 60 menit terakhir milik Room, babak kedua di dalam film ini jauh terasa lebih kuat. Akan dijelaskan di 60 menit terakhir bagaimana karakter Jack dan Joy terlihat semakin berkembang meski dengan pace cerita yang jauh lebih tenang. Bagaimana Jack dan Joy berusaha memahami lagi dunia yang selama ini dia buat dengan sebuah perspektif baru. Kesan karakter satu dimensi yang ada di 60 menit pertama semakin lama berubah menjadi sebuah karaktr yangmultidimensional.

Alasan-alasan yang kuat dengan problematika yang jauh lebih rumit berusaha dijelaskan oleh Lenny Abrahamson secara perlahan di dalam film Room. Itu dilakukan agar Room memiliki karakter yang tak terkesan seperti ruangan yang dihuni Jack dan Joy yang hanya dapat melihat dinding dari satu sisi. Dan di situlah kekuatan film Room yang tak perlu muluk-muluk di setiap aspek pembuatan filmnya. Hanya perlu sokongan arahan yang kuat dan performa luar biasa aktor-aktris utama sehingga cerita di dalam film Room dapat disampaikan kepada penontonnya. 


Maka, Room adalah sebuah studi karakter menarik dengan fenomena sosial tentang bagaimana seseorang berusaha memaknai dan memahami apa yang mereka anggap sebagai ‘dunia’ menurut mereka. Lenny Abrahamson berhasil memberikan sebuah arahan yang kuat sehingga film ini memiliki sebuah kekuatan yang dapat mengiris hati penontonnya. Pun, lewat performa luar biasa yang dilakukan oleh Brie Larson dan juga Jacob Tremblay yang semakin bertambahnya menit dapat mengembangkan karakternya agar tak terkesan satu dimensi. Tak salah jika Room diganjar banyak sekali nominasi di banyak ajang film bergengsi. Menyentuh dan menggetarkan!


10. DEADPOOL (2016) REVIEW : Expectation Violency of Anti-Hero Character Building


Setelah ber-marketing sana sini yang dapat menimbulkan hype  yang cukup besar, Deadpool  jelas sangat diantisipasi oleh banyak kalangan. Karena sosok yang diasumsikan sebagai superhero ini memiliki keunikan tersendiri karena gayanya yang nyeleneh. Sayangnya, asumsi kebanyakan orang terhadap sosok Deadpool ini salah. Deadpool bukanlah seorang manusia super, dia hanyalah manusia biasa dengan suntikan mutan yang ingin membalaskan dendam.


Ya, Deadpool adalah sosok anti-superhero yang tak tahu siapa yang akan dia bela. Deadpool hanya mempedulikan egonya untuk balas dendam kepada orang-orang yang telah menghancurkan kehidupannya dan orang di sekitarnya. 20th Century Fox dengan berat hati –pada awalnya –memberikan lampu hijau untuk membuat Deadpool. Sehingga, film ini hanya memiliki budget yang minim yang agar dimaksimalkan.

Ryan Reynolds dipilih sebagai sosok Deadpool yang pada awalnya telah gagal untuk menjadi sosok superhero di beberapa film lainnya. Ryan Reynolds dianggap pantas karena telah memperjuangkan hak Deadpool untuk mendapatkan filmnya sendiri. Deadpool ditangani oleh Tim Miller dan menjanjikan bahwa film ini akan berbeda dibandingkan dengan film-film Marvel lainnya. Karena Deadpool adalah sosok anti-hero yang memiliki perilaku tengil. 


Ketengilan dari sosok Deadpool ini memang sudah ada sejak dirinya belum disuntiki cairan mutan oleh seseorang yang membawanya karena iming-iming untuk menyembuhkan penyakitnya. Wade (Ryan Reynolds) nama asli Deadpool ini adalah seorang berandalan yang sangat dibenci tetapi juga dicintai oleh banyak orang. Dia jatuh cinta kepada Vanessa (Morena Baccarin) ketika sedang melihatnya di sebuah bar. Tetapi kisah cintanya tak berlangsung lama ketika Wade didiagnosa mengidap kanker parah.

Dan dengan alasan ingin bertahan hidup lebih lama dengan pujaan hatinya inilah, Wade pun tergoda tawaran untuk dijadikan seorang mutan agar bisa bertahan hidup. Sayangnya, Wade masuk ke dalam perangkap yang mengharuskannya bertemu dengan sosok egois bernama Ajax (Ed Skrein), yang jelas itu bukan nama aslinya. Karena ketengilan Wade, Ajax kesal dan menumpahkan emosinya kepadanya. Dia membuat Wade buruk rupa dan Wade mencari Ajax untuk membalaskan dendamnya.


Dan dalam 100 menit Deadpool ini menceritakan bagaimana Wade Wilson berusaha keras untuk menyerang dan mencari siapa itu Ajax, meskipun dia sudah tahu nama asli darinya. Menariknya, Tim Miller membuat Deadpool memiliki alur maju mundur ke dalam filmnya, terutama di bagian 40 menit pertama. Karakter Deadpool dibuat sangat interaktif dengan penontonnya meski dengan cara yang tak langsung. Tetapi, karakter Deadpool tahu bahwa dia berada di dalam sebuah film.

Deadpool dibuat dengan karakter narsistik yang kental yang menguatkan imej tengil yang telah ditempelkan. Di dukung dengan dialog-dialog penuh narsisisme dan kata-kata tak beradab yang dilontarkan sepanjang film. Tetapi, karakter Deadpool atau Wade memang sudah tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang ada di sekitarnya. Maka, tak salah jika Tim Miller membangun karakter Wade Wilson dengan banyak sekali pembentukan sifat senonoh dan memutuskan untuk menjadikan filmnya memiliki rating 17 tahun ke atas.

Tim marketing dari Deadpool ini benar-benar memanfaatkan bagaimana karakter dari Deadpool dibentuk di dalam ceritanya. Sehingga, ketengilan bukan hanya mendarah daging ke dalam karakteristik filmnya, tetapi juga menjadi trademark  dalam proses marketingnya. Calon-calon penonton diganjar habis-habisan dengan banyak sekali bentuk pemasaran yang terlihat menarik. Dan secara tak sengaja, jelas akan membuat penonton berekspektasi sangat tinggi. 


Dalam menonton, tak bisa lepas dari sebuah ekspektasi. Entah hanya sekedar melihat trailer atau lewat trik-trik promo yang dilakukan oleh rumah produksinya. Deadpool terkena bumerang akan trik-trik promo menariknya yang ternyata tak begitu selaras dengan keseluruhan presentasinya. Sebagai sebuah film dengan kekuatan super, Deadpool memang sedikit berbeda dalam pengemasan terutama pada pelemparan candaan yang super tak beradab. Deadpool memang tak menawarkan sesuatu yang berbeda, hanya saja Tim Miller tak sengaja masih bermain aman dengan Deadpool.

Segala ketengilan dan kebiadaban Deadpool di dalam filmnya tak seperti apa yang berusaha digembar-gemborkan. Tim Miller melemparkan semua candaan secara beruntun tanpa diberi ruang bernafas bagi penontonnya untuk mencerna bagian mana yang menjadi gong-nya. Tim Miller masih belum memperhatikan benar timing untuk menjaga pace cerita dan candaan agar bisa berjalan seimbang. Sehingga, Deadpool semakin bertambah menit pun terasa sangat tertatih untuk menyelesaikan perjalanannya. 


Tensi Deadpool semakin menurun dengan bertambahnya menit. Pun, karena Deadpool terlalu banyak mengambil alih screening time di dalam filmnya. Tim Miller terlalu asyik berpetualang mengulik lebih dalam tentang karakter Deadpool sehingga tak bisa memberikan porsi yang seimbang dengan karakter-karakter pendukung di dalam filmnya. Hasilnya, Deadpool seperti sedang berusaha sendirian untuk menyalakan tensi dan segala cita rasa film selama 100 menit.

Keegoisan Tim Miller untuk menyorot lebih kepada Deadpool menjadi sebuah masalah kecil yang secara tak langsung menggerogoti perlahan presentasinya. Mungkin Deadpool juga sebagai medium pembentukan ulang citra Ryan Reynolds yang selalu gagal memerankan sosok berkekuatan super. Sehingga, bisa jadi bukan hanya keegoisan dari sang sutradara melainkan juga sang aktor yang sangat ingin diakui sebagai salah satu aktor berpotensi di industri film hollywood. 


Dengan rating dewasa, Deadpool memberikan sesuatu yang berbeda lewat presentasi karakteristik unik sosok Wade Wilson. Meski begitu, Deadpool tak seperti yang digembar-gemborkan oleh tim marketing-nya yang diperas hingga maksimal untuk mendapatkan brand awareness yang besar agar mendapatkan calon penonton untuk menutupi budget-nya yang kecil. Tidak salah memang, tetapi penonton secara tak langsung membangun ekspektasi. Tetapi, Deadpool mengkhianati ekspektasi penonton dengan presentasi yang sebenarnya berusaha keras menutupi masalah-masalahnya. 

11. A COPY OF MY MIND (2016) REVIEW : Konstruksi Realita Jujur Kota Jakarta


Cita-cita aku ? Aku pengen punya home theatre sendiri biar bisa nonton film.” Sesederhana itu memang mimpi Sari, salah satu karakter utama dari film terbaru arahan Joko Anwar. Bukan menjadi hal tabu lagi bagi setiap orang untuk menaruh dan menggantungkan mimpi setinggi mungkin kepada sang Ibu Kota. Tujuannya sederhana, untuk memperbaiki kehidupannya yang belum bisa dikatakan terjamin. Dan merantau ke ibu kota menjadi salah satu opsi yang mereka gunakan. 

Keinginan banyak orang untuk hidup enak di kerasnya perjuangan di Ibu Kota memang tak mudah. Kehidupan mentereng yang disorot berlebih di berbagai drama rekonstruksi media menjadi salah satu dalih bagi mereka untuk semakin yakin merantau ke ibu kota. Maka, datanglah Joko Anwar yang menawarkan diri untuk memberikan visualisasi isu sosial tersebut tanpa berusaha mendramatisir. Alih-alih terlalu serius, Joko Anwar pun menjadikan proyeknya sebagai sebuah kisah cinta dua insan yang juga memiliki problematika serius dengan kehidupan keras kota Jakarta.

Salinan memori dari berbagai macam problematika di Ibu Kota ini diangkat dalam film terbaru Joko Anwar, A Copy of My Mind. Menggunakan karakter representatif yang disematkan pada Alek dan Sari ketika berusaha keras menjalani hidupnya dengan pekerjaan kecilnya yang mampu membuatnya bertahan hidup. Diperankan oleh Chicco Jericho dan Tara Basro, film ini pun melaju sebagai film unggulan Festival Film Indonesia dan beberapa festival film di dunia. 


Kehidupan keras di kota Jakarta membuat setiap penduduknya harus rela bekerja apa saja demi menghidupi dirinya. Entah, profesi hanya sekedar lalu lalang demi bertahan hidup setiap harinya atau menjadi sumber mata pencaharian andalan untuk kelangsungan kehidupan yang berkala. Dan Sari (Tara Basro) adalah salah satu yang menggantungkan hidupnya lewat profesinya menjadi pegawai salon. Hidupnya mungkin tidak bergelimang harta, tetapi Sari merasa nyaman dengan kesehariannya.

Ya, Sari sudah merasa bahagia asal dapat menonton film-film terbaru dari DVD bajakan yang dia beli di pusat grosiran. Sayangnya, kebahagiaannya yang sederhana pun diusik oleh kualitas teks terjemahan dari DVD yang ia beli. Merasa kesal, Sari mengembalikannya pada penjual yang secara tak sengaja bertemu dengan Alek (Chicco Jericho). Dia lah yang mengerjakan teks terjemahan dari DVD yang Sari beli. Pertemuannya dengan Alek pun mengubah banyak sekali cerita-cerita hidup Sari. 


Keterbatasan dari segi materil dari para karakter di dalam A Copy of My Mind ini adalah gambaran secara realistis kalangan proletar yang masih berlalu lalang di Ibu kota. Pun, dengan segala keterbatasan itu tak membuat para karakternya tak menemukan kebahagiannya. Dan dengan keterbatasan itu pula, bukan pula menjanjikan kehidupan yang tentram. Alek dan Sari akan menemukan problematikanya sendiri dan mereka akan berkembang seiring dengan bagaimana mereka menghadapi itu semua.

Sari akan terasa relevan dengan banyak sekali orang yang berusaha menggantungkan hidupnya mencari profesi impian yang tak kunjung datang. Dan berusaha memperkecil impian hanya untuk sekedar memiliki home theatre dan itu sudah lebih dari cukup. Ekspektasi setiap orang untuk mendapatkan peningkatan akan strata sosial mereka di Ibu Kota memang tak jarang yang tak sesuai. Dan A Copy Of My Mind memiliki karakter Sari sebagai representasi dari problematika itu.

Kerasnya kehidupan kota Jakarta memang membuat setiap orang menjadikan apapun sebagai profesi asal bisa memenuhi sandang, papan, dan pangan sebagai kebutuhan pokok mereka. A Copy Of My Mind pun berusaha untuk menyindir itu lewat karakter Alek yang melakukan pekerjaan yang terasa bias antara ilegal dan legal. Orang menikmati hasil dari apa yang dikerjakan oleh Alek tanpa mengetahui apa dampak yang mereka kontribusikan atas apa yang mereka konsumsi. 


Kedua masalah sosial yang direpresentasikan lewat Alek dan Sari ini dipadu padankan satu sama lain oleh Joko Anwar. Sehingga, A Copy Of My Mind membentuk sebuah keintiman problematika luar biasa yang terasa miris. Di atas problematika yang dialami oleh setiap karakter fiktif yang dibentuk oleh Joko Anwar, mereka akan mencari kebahagiaan yang sederhana yang akan terasa nyata dan menyentil sisi emosional penontonnya. A Copy Of My Mind akan terasa getir dan sekaligus indah untuk dinikmati.

Joko Anwar tak lagi merekonstruksi realita sekitarnya yang ada. Tetapi menjelaskan secara murni apa yang ada disekitarnya. A Copy Of My Mind berusaha menampilkan realita senyata mungkin kepada penontonnya untuk menghadirkan kedekatan secara emosional. Joko Anwar memang tak segamblang itu mengkritik aspek-aspek sosial yang perlu dibenahi di dalam filmnya. Jelas, bukan menjadi sebuah sajian yang mudah diakses bagi setiap orang apalagi dengan alur lambat selama 115 menit.


Akan menjadi tantangan bagi penonton yang tak terbiasa untuk memasuki bagaimana Joko Anwar bertutur lewat A Copy Of My Mind. Tetapi, akan muncul efek jangka panjang yang diinseminasi ke dalam pemikiran penontonnya bahwa A Copy Of My Mind bukan hanya sebuah film yang begitu mudah untuk dilupakan. Tempelan-tempelan sistem tanda dan lambang di dalam A Copy Of My Mind begitu kuat akan membutuhkan penonton yang aktif untuk menginterpretasi itu agar menjadi sebuah pesan yang utuh.

Terpaan adegan demi adegan di dalam film A Copy of My Mind seperti mengajak penontonnya agar tak terperangkap dalam sebuah jarum hipodermik, yang mana penonton sangat pasif menerima setiap konflik yang secara langsung ditujukan kepada mereka. Dan dengan itulah, A Copy Of My Mind secara tak langsung memberikan salinan jangka panjang kepada memori penontonnya. Bukan hanya sekedar menghantui, tetapi untuk diterapkan dan sebagai bahan renungan untuk memperluas pandangan kita tentang kesenjangan sosial yang masih terjadi begitu kental dan tak hanya di Ibu kota. 


Dengan kontruksi cerita dalam A Copy Of My Mind yang terasa begitu sederhana dibandingkan film-film Joko Anwar lainnya, tetapi efek yang dihasilkan oleh A Copy Of My Mind akan terasa signifikan. Bukan hanya sekedar sebuah pesan utuh yang langsung dijejalkan kepada penontonnya secara mentah-mentah. Tetapi, butuh keaktifan penonton untuk menata ulang pesan-pesan metaforik yang disebarkan di setiap adegan A Copy Of My Mind. Karakter-karakter representatif dan reka adegan yang realistis menjadi kekuatan utama A Copy Of My Mind. Bukan sekedar intrik, tetapi juga keintiman menarik dalam karya Joko Anwar yang sekali-kali menuruti egonya.


Nah ituu diaaa Fillerxx beberapa review film yang lagi booming nyaa loo!! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar