Selamat malam Fillerx!, lagi pada ngapain nih? Udah
pada buka kan? Pasti nya seger lagi dong kalo udah buka ya Fillerx!. Berhubung karena
kalian semua pada udah buka dan mungkin juga lagi buka-buka blog kita, mimin
mau ngupdate lagi nih Fillerx!
Updatean mimin kali ini keren kok :D , kalian
semua pasti pada suka deh :D
Jadi baca sampai habis ya Fillerx!
.
Festival
Film Cannes adalah festival film terbesar di dunia yang tiap tahun menerima
pendaftaran 2000 film, dihadiri kurang lebih 5000 jurnalis dan 30.000
profesional dari perfilman dunia, termasuk Indonesia. Dalam festival yang
pertama kali digelar tahun 1946 ini, terdapat beberapa penghargaan,
seperti Palme
d’Or, penghargaan prestisius yang setara dengan Goldener Bär di Berlin International Film Festival .
Selain itu ada penghargaan Prix Un Certain Regard yang
diinisiasi Gilles Jacob sejak
1978 untuk mengapresiasi film-film indieuntuk
bersaing dalam nominasi dan meraih pengakuan internasional.
Selama
berlangsungnya Festival Film Cannes digelar pula Marché du Film di mana sekitar 10.000 pebisnis film dari
lebih 100 negara bertemu. Dalam pasar film ini perwakilan tiap negara melakukan
distribusi informasi tentang perkembangan film, kebijakan perfilman, promosi
film dan negaranya sebagai lokasi produksi film internasional. Turut juga
diselenggarakan program kompetisi film independen seperti La Semaine de la Critique atau Critic’s Week. Program tersebut
diinisiasi sejak 1962 oleh Serikat Kritikus Film Prancis (French Union of the Film Critics)
yang beranggotakan jurnalis dan kritikus film Prancis. Saat itu mereka melihat
Festival Cannes terlalu mapan dan berorientasi pada nama besar sehingga sering
mengabaikan karya-karya lain yang unggul dalam pencapaian artistik. Langkah
yang sama ditempuh oleh Serikat Sutradara Prancis dengan menggelar Quinzaine des Réalisateur atau Directors Fortnight.
Selain Cannes, film
Indonesia juga banyak menembus Vesoul
International Film Festival of Asian Cinema yang mengutamakan segi
seni dan artistik.Diselenggarakan di kota Vesoul, Prancis, festival ini
merupakan festival film Asia paling penting di Eropa dan secara konsisten
menampilkan seleksi film yang berkualitas. Berikut daftar 10 film Indonesia
terbaik yang berhasil menembus Prancis:
Tjoet Nja' Dien (1988)
Kiprah
Indonesia di Festival Film Cannes dimulai dari diputarnya film Tjoet Nyak Dien
karya Eros Djarot pada tahun 1989 dalam program Semaine de la Critique untuk kategori film panjang.
Di ajang tersebut film peraih 9 Piala Citra ini, meraih penghargaan
sebagai Best International Film.
Dibintangi oleh Christine Hakim sebagai Tjoet Nja’ Dien,Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku
Umar, film ini sukses menghidupkan sosok Cut Nyak Dien yang ahli strategi
perang sekaligus istri dan ibu yang berbakti pada keluarga. Film yang digarap
selama dua tahun ini menunjukkan kualitasnya terutama dalam setting lokasi dan waktu
serta akting prima Christine Hakim yang berbicara dengan bahasa dan logat Aceh
dengan sempurna.
Daun di Atas Bantal (1998)
Film
karya Garin Nugroho yang di Prancis dikenal dengan judul Feuille sur un oreiller ini
diputar dalam program Un Certain
Regard di Festival Film Cannes 1998. Bercerita tentang kehidupan
tiga anak jalanan di Yogyakarta; Kancil, Heru dan Sugeng yang diperankan oleh
tokoh asli di kehidupan nyata dan menjalani hidup dalam kemiskinan bersama Asih
(Christine Hakim). Film ini mengangkat tema keseharian dimana kesulitan hidup
dan tragedi yang dialami karakternya ditampilkan apa adanya, namun tetap memiliki
unsur artistik dan dramatisasi.
Pasir Berbisik (2001)
Film
karya Nan T. Achnas ini
ditayangkan dalam ajang Festival du Film Asiatique de Deauville tahun 2002.
Festival sinema Asia ini digelar tiap tahun di kota Deauville, Prancis sejak
tahun 1999. Dalam ajang tersebut, Dian
Sastrowardoyomeraih penghargaan Best Actress. Film ‘nyeni’ (arthouse) yang menjadi ciri khas sang sutradara ini berkisah
tentang kehidupan Daya (Dian Sastro) dan ibu, Berlian (Christine Hakim) yang
diwarnai kemiskinan dan kesendirian. Daya yang merindukan hadirnya ayah dan
teman bermain, mendengarkan suara pasir “berbisik” kepadanya. Alur lambat,
minim dialog dan penuh simbolisasi tidak lantas menjadikan film ini membosankan
berkat keindahan visual memanjakan mata sekaligus mendukung jalinan cerita.
Berbagi Suami (2006)
Film
karya Nia Dinata ini
meraih Prix d’Argent dan Prix du film favori du public (film
favorit penonton) dalam ajang Festival du film d’Asie de Lyon di
Prancis. Sekuel film Arisan! Ini
mengangkat tema kontraversial di Indonesia: Poligami. Kegundahan Nia atas isu
tersebut tertuang dengan cerdas lewat tiga cerita berbeda dalam satu film. Film
yang diproduksi bersama Indonesia-Prancis ini mengangkat tema serius, sensitif,
tabu namun dibungkus komedi satir. Film yang mengangkat tema poligami dari
sudut pandang perempuan ini diproduksi bersama oleh Kalyana Shira Film dan WallWorks, sebuah rumah produksi asal
Prancis dan dengan kolaborasi pekerja film Indonesia-Prancis.
Sang Penari (2011)
Film
karya Ifa Isfansyah yang
diadaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karyaAhmad Tohari ini dirilis di Prancis pada ajang Festival
Film Cannes 2013. Pemenang 4 penghargaan Piala Citra 2011 ini diputar dalam
program European Premiere
Antipodes, Cannes Cinephile 2013 dan kompetisi Cannes Senior Category dalam
rangkaian Festival Film Cannes 2013. Sang Penari menceritakan kisah cinta
tragis seorang pemuda desa bernama Rasus (Oka Antara) dengan penari ronggeng bernama Srintil (Prisia Nasution) di Dukuh Paruk, desa
kecil yang diliputi kemiskinan, kelaparan dan kebodohan bersettingIndonesia tahun 1960-an yang
penuh gejolak politik. Di tanah air, Sang Penari meraih 4 penghargaan dalam
ajang Festival Film Indonesia 2011 untuk kategori Film Terbaik, Sutradara
Terbaik, Aktris Terbaik Prisia Nasution dan Aktris Pendukung TerbaikDewi Irawan.
Atambua 39° Celcius (2012)
Film
garapan Riri Riza dan Mira Lesmana ini
memenangkan Inalco Jury Awarddalam
ajang Vesoul Asian Film Festival
2013. Festival yang diadakan pertama kali di tahun 1995 ini,
setiap tahun menerima sekitar 30.000 film. Penghargaan Inalco ini
diberikan oleh dewan juri yang beranggotakan Remi Dor, Francois-Xavier Durandy,
Anthony Folkmann, Boris Elaiba, Elodie Guignard dan Satenik Mkhitaryan. Film
Atambua 39° Celcius dipuji karena kekuatan tema cerita yaitu pencarian
identitas dengan setting pasca konflik, sinematografi, penataan cahaya dan
warna yang apik serta akting aktor-aktornya yang prima.
The Mirror Never Lies (2011)
Film
karya Kamila Andini yang
dibintangiGita Novalista, Reza Rahadian dan Atiqah Hasiholan ini diputar
di program Cannes
Cinephiles di Festival Film Cannes 2011. Disaksikan lebih dari
200 penonton internasional, film yang mendapat tujuh nominasi dalam Festival
Film Indonesia ini juga diputar di Cinema
Le Raimu di Cannes dan Festival des Antipodes di St Tropez. The
Mirror Never Lies merekam dan memvisualisasikan kekayaan kehidupan laut
Wakatobi dan keseharian suku Bajo melalui narasi sederhana dari seorang gadis
kecil bernama Pakis (Gita Novalista) yang berusaha menemukan ayahnya yang
hilang ketika melaut.
What They Don’t Talk When They Talk About Love
(2013)
Karya
kedua Mouly Surya yang
mengangkat romansa remaja penyandang cacat ini diputar dalam Festival
international du film de femmes de Créteil di Prancis tahun 2014.
Mouly yang sudah dua kali berpartisipasi dalam Festival Film Cannes, melihat
festival ini sebagai kiblat film terbesar di dunia di mana ia mendapat
kesempatan besar untuk berjejaring dengan insan perfilman dunia. Mouly Surya
juga dinobatkan sebagai sutradara perempuan pertama dalam sejarah Festival Film
Indonesia yang meraih Piala Citra. Karya kedua Mouly Surya setelah Fiksi (2008)
ini merupakan film Indonesia pertama yang masuk dalam nominasi World Cinema – Dramatic dalam
ajang Sundance Film Festival 2013 di
Amerika Serikat.
The Fox Exploits The Tiger’s
Might (2015)
Setelah
bersaing dengan 1750 karya pendek lainnya dan 1100 film feature dari seluruh dunia, The Fox Exploits The Tiger’s Mightkarya
sutradara muda Lucky Kuswandiberhasil
menjadi 1 dari 10 film pilihan yang dikompetisikan dalam program Semaine de la Critique Festival
Film International Cannes tahun ini. Film ini merupakan film pendek Indonesia
pertama yang berhasil masuk dalam kompetisi tersebut, setelah 10 tahun
sebelumnya film pendek karya Edwinberjudul Kara, Anak
Sebatang Pohonterpilih masuk kategori Director’s Fortnight di Festival Film Cannes 2005.
Dan 26 tahun sebelumnya, film Tjoet Nya’ Dien terseleksi dalam ajang yang sama
untuk kategori film panjang.
Bagi
sang sutradara sendiri, karyanya tersebut memberikan keleluasaan dalam
membicarakan tema kekuasaan dan seksualitas secara terbuka, jujur dan dewasa.
Keleluasaan tanpa penyensoran diri maupun penyensoran dari berbagai lembaga
dalam eksplorasi karya seni ini justru membuahkan prestasi yang bisa
dibanggakan oleh dunia internasional.
The Raid (2011)
Suguhan
aksi laga intensif dengan plot sederhana ternyata mampu membawa The Raid maupun
sekuelnya, The Raid 2 (2014), menjadi film Indonesia box officeteratas. Film yang
mengangkat seni bela diri khas Indonesia, pencak silat, ke dunia internasional
ini diputar di berbagai negara dan laris manis termasuk di bioskop-bioskop
Prancis. Gareth Evans (sutradara)
ternominasi sebagai Best
Cinematographer dan meraih Best Editor dalam ajang Asian Film Awards 2015.
Itu
tadi film-film yang membanggakan Indonesia di pentas Internasional nih Fillerx!, gimana menurut kalian
tentang film-film yang ada diatas? Keren-keren kan? Pastinya dong :D semoga
bermamfaat Fillerx!
Hem... karena kita udah selesai
bahas topik ini, mimin pamit ya:D, jangan lupa tetap buka-buka blog kita Fillerx!.
Bye byee....
RENATA EVLINA MANIK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar