Minggu, 13 Maret 2016

Efek Film Porno terhadap Remaja



Efek Film Porno terhadap Remaja
            Pada era globalisasi seperti sekarang ini, perkembangan IPTEK membuat tingkat kebutuhan masyarakat akan informasi menjadi sangat tinggi. Dengan kecanggihan-kecanggihan teknologi yang ada, memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan informasi secara cepat dan mudah. Dalam mendapatkan informasi tersebut, masyarakat menggunakan media massa, seperti: koran, radio, televisi, film, dan yang paling populer saat ini adalah melalui media sosial atau internet. Ya, media sosial atau internet merupakan sumber utama pencarian informasi yang digunakan oleh hampir sebagian besar masyarakat, khususnya oleh para remaja.
Hasil penelitian terbaru mencatat pengguna internet di Indonesia yang berasal dari kalangan anak-anak dan remaja diprediksi mencapai 30 juta pengguna. Sebanyak 98% dari anak dan remaja mengaku tahu tentang internet dan 79,5% di antaranya adalah pengguna internet. Data tersebut berdasarkan hasil penelitian berjudul "Keamanan Penggunaan Media Digital pada Anak dan Remaja di Indonesia" yang dilakukan lembaga PBB untuk anak-anak, UNICEF, bersama para mitra, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Universitas Harvard, AS. Studi ini menelusuri aktivitas online dari sampel anak dan remaja yang melibatkan 400 responden berusia 10 sampai 19 tahun di seluruh Indonesia. (kompas.com, 19/2/2014)
            Remaja dianggap sebagai suatu masa yang paling tidak jelas. Karena remaja adalah suatu masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Papalia dan Olds (2001) mendefinisikan masa remaja sebagai masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan atau awal dua puluhan tahun. Karena masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan, maka umumnya pada masa inilah seseorang berusaha mencari jati dirinya. Pada fase pencarian jati diri ini, umumnya remaja memiliki sejumlah karakter, seperti:
1.                  Sering gelisah, karena umumnya remaja memiliki angan-angan yang tinggi. Namun, ia belum memiliki kemampuan yang cukup untuk mencapai angan-angan tersebut yang menyebabkan remaja menjadi sering gelisah dan bingung.
2.                  Pertentangan, dalam mencari jati dirinya, remaja biasanya berkeinginan untuk lepas dari orangtua. Namun, remaja belum mampu untuk mandiri sehingga pertentangan kerap kali muncul dari dalam diri remaja. Keinginan untuk lepas dari orangtua dan melakukan kegiatan yang mereka inginkan seringkali menimbulkan pertentangan yang membuat perdebatan antara orangtua dan remaja terjadi.  
3.                  Suka mengkhayal, remaja umumnya memiliki keinginan untuk menjelajah dan berpetualang yang tinggi. Namun, keinginan untuk berpetualang tersebut seringkali terkendala oleh orangtua ataupun biaya. Hal ini menyebabkan mereka hanya bisa mengkhayal dan menyalurkan khayalan tersebut melalui dunia fantasi.
4.                  Keinginan mencoba segala sesuatu, remaja memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Mereka rentan mencoba segala sesuatu yang dianggap baru dalam rangka menemukan jati diri mereka.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, remaja dengan karakter-karakter di atas akan berusaha mencari jati diri mereka dengan menggunakan berbagai cara. Salah satunya dengan perkembangan teknologi sekarang ini, yaitu melalui internet. Dengan arus globalisasi yang kuat ini, remaja seringkali kehilangan arah dan kontrol dalam menemukan dan mendapatkan informasi. Jalaluddin Rakhmat (dalam Subandy, 1997:39) kemudian memperlihatkan kemungkinan pengaruh teknologi informasi pada perubahan perilaku sosial di kalangan remaja. Bukan tidak mungkin, pengaruh teknologi informasi ini mewarnai gaya hidup para remaja. Hal ini karena tanpa disadari isi dari media yang diakses dapat mempengaruhi struktur kognitif dan afektif para remaja.
Film pornografi merupakan salah satu efek dari arus globalisasi saat ini yang sangat mudah diakses oleh para remaja dengan pemanfaatan teknologi informasi atau melalui internet. Film pornografi adalah suatu karya cipta dengan menggunakan media komunikasi massa audio-visual dan dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam dalam pita seluloid, pita video, atau hasil teknologi lainnya, yang mempertunjukkan ketelanjangan dan kecabulan yang dapat membangkitkan hasrat seksual para khalayak (repository.usu.ac.id). Selama ini, remaja umumnya telah menempatkan media massa sebagai sumber informasi seksual yang lebih penting dibandingkan orang tua dan teman sebaya. Hal ini karena media massa memberikan gambaran yang lebih baik mengenai keinginan dan kebutuhan seksualitas remaja (Brown, 2003 dalam Wibowo, 2004).
Cline (1996) mengemukakan 4 dampak progresif dari film pornografi:
1.                  Kecanduan, di mana hasrat untuk menikmati tayangan-tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri.
2.                  Meningkatnya nafsu liar di mana orang menjadi kurang puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk ke dalam pornografi yang semakin dan semakin brutal, biasanya guna memperoleh sensasi dan gairah yang sama.
3.                  Hilangnya kepekaan moral, di mana ia tidak lagi memiliki kepekaan moral terhadap tayangan-tayangan yang tidak wajar, yang tidak sah, yang menjijikkan, yang menyesatkan, tidak bermoral, melainkan menikmatinya sebagai tayangan yang dapat diterima dan mulai memandang orang lain sebagai obyek.
4.                  Pelampiasan, di mana khayalan diwujudkan dalam tindakan nyata yang jahat.
Dampak dari film pornografi ini sungguh terjadi bahkan pada seorang anak berusia 8 tahun di Bintara, Bekasi Barat. Anak ini melakukan pelecehan seksual pada tetangganya sendiri yang baru berusia 3 tahun. Anak ini mengaku melakukan hal tersebut setelah menonton film porno (news.viva.co.id, 13/04/2013). Fakta ini membuktikan bahwa film porno memberikan efek yang sangat buruk tidak hanya bagi remaja tetapi juga pada anak-anak. Hal ini sesuai dengan yang tertulis pada Cerita Remaja Indonesia (2001) bahwa tayangan media massa (khususnya film) yang menonjolkan aspek pornografi diyakini sangat erat hubungannya dengan meningkatnya berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi pada remaja.
Menurut saya, untuk mencegah dampak dari film porno di atas, kuncinya terdapat pada persepsi yang dibentuk masing-masing individu terhadap isi media yang ia akses. Karena seperti yang dikatakan Baldwin, Perry dan Moffit (2004) dalam Junaedi (2013) bahwa publik memang melihat dan membaca isi media, namun mereka mempunyai perspektif sendiri dalam menentukan apa yang mereka terima dan apa yang tidak mereka terima dari media massa.


Daftar Pustaka
Junaedi, Fajar. 2013. Komunikasi Politik: Teori Aplikasi dan Strategi Di Indonesia. Yogyakarta: Buku Litera Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar