Efek Film Porno terhadap
Remaja
Pada era globalisasi seperti
sekarang ini, perkembangan
IPTEK membuat tingkat kebutuhan masyarakat akan informasi menjadi sangat
tinggi. Dengan kecanggihan-kecanggihan teknologi yang ada, memungkinkan
masyarakat untuk mendapatkan informasi secara cepat dan mudah. Dalam
mendapatkan informasi tersebut, masyarakat menggunakan media massa, seperti:
koran, radio, televisi, film, dan yang paling populer saat ini adalah melalui
media sosial atau internet. Ya, media sosial atau internet merupakan sumber
utama pencarian informasi yang digunakan oleh hampir sebagian besar masyarakat,
khususnya oleh para remaja.
Hasil penelitian terbaru
mencatat pengguna internet di Indonesia yang berasal dari kalangan anak-anak
dan remaja diprediksi mencapai 30 juta pengguna. Sebanyak 98% dari anak dan remaja mengaku
tahu tentang internet dan 79,5% di antaranya adalah pengguna internet. Data
tersebut berdasarkan hasil penelitian berjudul "Keamanan Penggunaan Media
Digital pada Anak dan Remaja di Indonesia" yang dilakukan lembaga PBB
untuk anak-anak, UNICEF, bersama para mitra, termasuk Kementerian Komunikasi
dan Informatika dan Universitas Harvard, AS. Studi ini menelusuri aktivitas online
dari sampel anak dan remaja yang melibatkan 400 responden berusia 10 sampai 19
tahun di seluruh Indonesia. (kompas.com,
19/2/2014)
Remaja
dianggap sebagai suatu masa yang paling tidak jelas. Karena remaja adalah suatu
masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Papalia dan Olds (2001)
mendefinisikan masa remaja sebagai masa transisi perkembangan antara masa
kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13
tahun dan berakhir pada usia akhir belasan atau awal dua puluhan tahun. Karena
masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan, maka umumnya pada masa
inilah seseorang berusaha mencari jati dirinya. Pada fase pencarian jati diri
ini, umumnya remaja memiliki sejumlah karakter, seperti:
1.
Sering gelisah, karena umumnya remaja memiliki angan-angan
yang tinggi. Namun, ia belum memiliki kemampuan yang cukup untuk mencapai
angan-angan tersebut yang menyebabkan remaja menjadi sering gelisah dan bingung.
2.
Pertentangan, dalam mencari jati dirinya, remaja biasanya
berkeinginan untuk lepas dari orangtua. Namun, remaja belum mampu untuk mandiri
sehingga pertentangan kerap kali muncul dari dalam diri remaja. Keinginan untuk
lepas dari orangtua dan melakukan kegiatan yang mereka inginkan seringkali
menimbulkan pertentangan yang membuat perdebatan antara orangtua dan remaja
terjadi.
3.
Suka mengkhayal, remaja umumnya memiliki keinginan untuk menjelajah
dan berpetualang yang tinggi. Namun, keinginan untuk berpetualang tersebut
seringkali terkendala oleh orangtua ataupun biaya. Hal ini menyebabkan mereka
hanya bisa mengkhayal dan menyalurkan khayalan tersebut melalui dunia fantasi.
4.
Keinginan mencoba segala sesuatu, remaja memiliki rasa keingintahuan yang
tinggi. Mereka rentan mencoba segala sesuatu yang dianggap baru dalam rangka
menemukan jati diri mereka.
Berdasarkan penjelasan
sebelumnya, remaja dengan karakter-karakter di atas akan berusaha mencari jati
diri mereka dengan menggunakan berbagai cara. Salah satunya dengan perkembangan
teknologi sekarang ini, yaitu melalui internet. Dengan arus globalisasi yang
kuat ini, remaja seringkali kehilangan arah dan kontrol dalam menemukan dan
mendapatkan informasi. Jalaluddin Rakhmat (dalam Subandy, 1997:39) kemudian
memperlihatkan kemungkinan pengaruh teknologi informasi pada perubahan perilaku
sosial di kalangan remaja. Bukan tidak mungkin, pengaruh teknologi informasi
ini mewarnai gaya hidup para remaja. Hal ini karena tanpa disadari isi dari media
yang diakses dapat mempengaruhi struktur kognitif dan afektif para remaja.
Film pornografi
merupakan salah satu efek dari arus globalisasi saat ini yang sangat mudah
diakses oleh para remaja dengan pemanfaatan teknologi informasi atau melalui
internet. Film pornografi adalah suatu karya cipta dengan menggunakan media
komunikasi massa audio-visual dan dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan
direkam dalam pita seluloid, pita video, atau hasil teknologi lainnya, yang
mempertunjukkan ketelanjangan dan kecabulan yang dapat membangkitkan hasrat
seksual para khalayak (repository.usu.ac.id).
Selama ini, remaja umumnya
telah menempatkan media massa sebagai sumber informasi seksual yang lebih
penting dibandingkan orang tua dan teman sebaya. Hal ini karena media massa
memberikan gambaran yang lebih baik mengenai keinginan dan kebutuhan
seksualitas remaja (Brown, 2003 dalam Wibowo, 2004).
Cline (1996)
mengemukakan 4 dampak progresif dari film pornografi:
1.
Kecanduan, di mana hasrat untuk menikmati tayangan-tayangan
pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri.
2.
Meningkatnya nafsu liar di mana orang menjadi kurang puas dengan
hubungan seksual yang normal dan masuk ke dalam pornografi yang semakin dan
semakin brutal, biasanya guna memperoleh sensasi dan gairah yang sama.
3.
Hilangnya kepekaan moral, di mana ia tidak lagi memiliki kepekaan
moral terhadap tayangan-tayangan yang tidak wajar, yang tidak sah, yang
menjijikkan, yang menyesatkan, tidak bermoral, melainkan menikmatinya sebagai
tayangan yang dapat diterima dan mulai memandang orang lain sebagai obyek.
4.
Pelampiasan, di mana khayalan diwujudkan dalam tindakan nyata
yang jahat.
Dampak dari film
pornografi ini sungguh terjadi bahkan pada seorang anak berusia 8 tahun di
Bintara, Bekasi Barat. Anak ini melakukan pelecehan seksual pada tetangganya
sendiri yang baru berusia 3 tahun. Anak ini mengaku melakukan hal tersebut
setelah menonton film porno (news.viva.co.id,
13/04/2013). Fakta ini membuktikan
bahwa film porno memberikan efek yang sangat buruk tidak hanya bagi remaja
tetapi juga pada anak-anak. Hal ini sesuai dengan yang tertulis pada Cerita
Remaja Indonesia (2001) bahwa tayangan media massa (khususnya film) yang
menonjolkan aspek pornografi diyakini sangat erat hubungannya dengan meningkatnya
berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi pada remaja.
Menurut saya, untuk
mencegah dampak dari film porno di atas, kuncinya terdapat pada persepsi yang
dibentuk masing-masing individu terhadap isi media yang ia akses. Karena
seperti yang dikatakan Baldwin, Perry dan Moffit (2004) dalam Junaedi (2013)
bahwa publik memang melihat dan membaca isi media, namun mereka mempunyai
perspektif sendiri dalam menentukan apa yang mereka terima dan apa yang tidak
mereka terima dari media massa.
Daftar Pustaka
Junaedi, Fajar. 2013. Komunikasi Politik: Teori Aplikasi dan Strategi Di Indonesia. Yogyakarta:
Buku Litera Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar