Minggu, 13 Maret 2016

Film (Haruskah) Kontroversial?



Film (Haruskah) Kontroversial?

            Film adalah media massa yang sifatnya sangat kompleks. Saat ini, film merupakan salah satu media yang banyak diminati masyarakat. Hal ini disebabkan karena film bisa dinikmati oleh segenap masyarakat dari berbagai rentang usia dan latar belakang sosial. Film tidak hanya sebagai sarana hiburan semata, tetapi juga sebagai sarana pembelajaran (edukatif), alat penyampai informasi, media promosi, sarana untuk menyampaikan suatu ‘ideologi’, sarana merefleksikan bahkan membentuk suatu realitas.
            Film memang sarana hiburan. Namun, terlepas dari itu semua, film juga bisa menjadi sarana propaganda. Film seakan-akan menjadi pedang bermata dua; menghibur tetapi juga dapat menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat. Film bisa menimbulkan kontroversi ketika film tersebut terlalu menyinggung hal-hal ‘sensitif’ seperti agama, politik, budaya, isu-isu sosial, rasis, seks, dan lain-lain.

            Isu-isu agama merupakan yang paling sering menimbulkan kontroversi. Agama adalah tema yang ‘sensitif’ untuk diwujudkan dalam media hiburan. Pandangan masyarakat mengenai film bertema agama seringkali menimbulkan perdebatan masing-masing individu yang akhirnya menjadi kontroversi. Sebut saja film Tanda Tanya. Tema dari film Tanda Tanya adalah pluralisme agama di Indonesia yang sering terjadi konflik antar keyakinan beragama, yang dituangkan ke dalam sebuah alur cerita yang berkisar pada interaksi dari tiga keluarga (Buddha, Muslim, dan Katolik) yang setelah menjalani banyak kesulitan dan kematian beberapa anggota keluarga dalam kekerasan agama, mereka mampu untuk hidup berdamai. Film besutan Hanung Bramantyo ini sebenarnya dimaksudkan untuk melawan penggambaran Islam sebagai “agama yang radikal”. Namun, film Tanda Tanya malah menimbulkan kontroversi karena film ini dianggap sesat dan menyesatkan sehingga haram untuk ditonton. Bahkan, puluhan massa dari ormas Islam (FPI, LPI dan Gerakan Pembela Rasulullah) sempat melakukan demo agar film ini dilarang pemutarannya oleh pemerintah Republik Indonesia. Mereka menganggap film ini salah satu perusak aqidah karena disinyalir telah mempropagandakan pluralisme ataupun liberalisme. Banser Nahdlatul Ulama (NU) juga memprotes film ini karena adanya suatu adegan yang dianggap tidak sesuai dengan kenyataan, yaitu adegan yang menayangkan anggota Banser yang dibayar untuk melakukan tugas-tugas amal mereka. Namun, meskipun banyak menimbulkan kontroversi, film Tanda Tanya justru mendapat 9 nominasi Festival Film Indonesia 2011 dan memenangkan Piala Citra untuk Sinematografi Terbaik.
            Selain itu, film Hijab dan Perempuan Berkalung Sorban, yang juga disutradarai oleh Hanung Bramantyo, juga menimbulkan kontroversi. Film Hijab sebenarnya bisa dikatakan sebagai film yang jujur karena mengangkat tema keseharian masyarakat Indonesia tentang penggunaan hijab dengan berbagai konflik peran muslimah dalam sebuah keluarga. Namun, film ini malah menimbulkan kontroversi ketika Hanum Rais (penulis buku 99 Cahaya di Langit Eropa) mengkritik film ini karena dianggap menjelek-jelekkan Islam. Sedangkan, film Perempuan Berkalung Sorban menimbulkan kontroversi karena dianggap melakukan kritikan kontra produktif atas tradisi Islam konservatif yang masih dipraktikan dalam banyak pesantren di Indonesia. Padahal, tema dari novel Perempuan Berkalung Sorban (yang kemudian diadaptasi menjadi film) pada intinya adalah tentang pemberdayaan wanita. Kasus yang dialami tokoh utama mengenai diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan ulama dengan dalih agama, diangkat Hanung Bramantyo dengan berani di film ini. Memang, Hanung Bramantyo adalah salah satu sutradara yang karyanya kerap dikritik bahkan dicekal. Karyanya yang ‘berani’ justru dinilai beberapa pihak melanggar SARA.

            Selain agama, film-film yang terlalu banyak mengandung unsur seks juga menimbulkan kontroversi. Salah satunya, Fifty Shades of Grey, film yang diadaptasi dari novel erotis karya E.L. James. Film ini tidak dapat tayang di beberapa negara, salah satunya di Indonesia, karena tidak sesuai dengan kriteria penyensoran film. Meski masuk ke dalam film yang berhasil memecahkan rekor box office dan mendulang untung besar dalam pemutaran perdananya (USD 94 juta), Fifty Shades of Grey juga mendapat enam nominasi film terburuk di Razzies Awards; film terburuk, sutradara terburuk, aktor terburuk, aktris terburuk, naskah cerita terburuk, dan pasangan terburuk. Film ini menimbulkan kontroversi karena menampilkan adegan intim antara Anastasia Steele dan Christian Grey dan juga unsur seksual dalam dialog, bahasa, dan visual yang terlalu berlebihan. Kontroversi film tersebut berpengaruh pada banyak hal. Salah satunya adalah kasus pelajar (Liam Nelson, 11 tahun) yang diusir dari perayaan “World Book Day” karena kostum yang ia gunakan menyerupai karakter dalam film Fifty Shades of Grey, yaitu berupa jas abu-abu, kabel pengikat, dan penutup mata. Liam Nelson memakai kostum tersebut karena pihak sekolah meminta murid hadir dengan pakaian yang sesuai dengan karakter idolanya. Dalam hal ini, Liam Nelson menjadikan Christian Grey sebagai idolanya. Orang lain mungkin berpikir ia tidak sopan; namun baginya, ia melakukan hal tersebut hanya untuk bersenang-senang.
            Sama seperti film Tanda Tanya, film Fifty Shades of Grey juga menuai protes. Hal ini disebabkan karena perubahan label dari NC-17 menjadi ‘R’ yang secara tiba-tiba. Label NC-17 membuat film ini bisa ditonton remaja usia 17 tahun ke bawah di Amerika Serikat, dengan syarat didampingi oleh orangtua mereka. Namun, ketika label film berubah menjadi ‘R’, film ini menjadi film yang biasa ditonton oleh kalangan remaja sekalipun tanpa didampingi oleh orangtua mereka. Hal ini jelas menimbulkan protes keras yang datang dari kelompok anti-pornografi di Amerika Serikat yang dinamakan Morality In Media.

            Tak bisa dipungkiri, ketika sebuah film menuai banyak kontroversi, film tersebut justru akan semakin dicari oleh masyarakat. Setiap orang dapat melakukan tafsir film berdasarkan ruang, waktu, dan peristiwanya sendiri, sehingga tafsir setiap orang akan berbeda satu dengan lainnya. Namun, bukan berarti hal ini bisa dijadikan alasan untuk menjudge karya orang lain. Kita harus tetap mengapresiasi film tersebut. Berikan kritik dan saran yang membangun, jangan hanya kritik tanpa alasan yang dapat ‘menjatuhkan’.
#RarasSabillaYaniJ



REFERENSI
9.       repository.usu.ac.id/bitstream/.../4/Chapter%20II.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar