Film
(Haruskah) Kontroversial?
Film
adalah media massa yang sifatnya sangat kompleks. Saat ini, film merupakan
salah satu media yang banyak diminati masyarakat. Hal ini disebabkan karena
film bisa dinikmati oleh segenap masyarakat dari berbagai rentang usia dan
latar belakang sosial. Film tidak hanya sebagai sarana hiburan semata, tetapi
juga sebagai sarana pembelajaran (edukatif), alat penyampai informasi, media
promosi, sarana untuk menyampaikan suatu ‘ideologi’, sarana merefleksikan
bahkan membentuk suatu realitas.
Film
memang sarana hiburan. Namun, terlepas dari itu semua, film juga bisa menjadi
sarana propaganda. Film seakan-akan menjadi pedang bermata dua; menghibur
tetapi juga dapat menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat. Film bisa
menimbulkan kontroversi ketika film tersebut terlalu menyinggung hal-hal
‘sensitif’ seperti agama, politik, budaya, isu-isu sosial, rasis, seks, dan
lain-lain.
Isu-isu
agama merupakan yang paling sering menimbulkan kontroversi. Agama adalah tema
yang ‘sensitif’ untuk diwujudkan dalam media hiburan. Pandangan masyarakat
mengenai film bertema agama seringkali menimbulkan perdebatan masing-masing
individu yang akhirnya menjadi kontroversi. Sebut saja film Tanda Tanya. Tema
dari film Tanda Tanya adalah pluralisme agama di Indonesia yang sering terjadi
konflik antar keyakinan beragama, yang dituangkan ke dalam sebuah alur cerita
yang berkisar pada interaksi dari tiga keluarga (Buddha, Muslim, dan Katolik)
yang setelah menjalani banyak kesulitan dan kematian beberapa anggota keluarga
dalam kekerasan agama, mereka mampu untuk hidup berdamai. Film besutan Hanung
Bramantyo ini sebenarnya dimaksudkan untuk melawan penggambaran Islam sebagai
“agama yang radikal”. Namun, film Tanda Tanya malah menimbulkan kontroversi
karena film ini dianggap sesat dan menyesatkan sehingga haram untuk ditonton. Bahkan,
puluhan massa dari ormas Islam (FPI, LPI dan Gerakan Pembela Rasulullah) sempat
melakukan demo agar film ini dilarang pemutarannya oleh pemerintah Republik
Indonesia. Mereka menganggap film ini salah satu perusak aqidah karena
disinyalir telah mempropagandakan pluralisme ataupun liberalisme. Banser
Nahdlatul Ulama (NU) juga memprotes film ini karena adanya suatu adegan yang
dianggap tidak sesuai dengan kenyataan, yaitu adegan yang menayangkan anggota
Banser yang dibayar untuk melakukan tugas-tugas amal mereka. Namun, meskipun
banyak menimbulkan kontroversi, film Tanda Tanya justru mendapat 9 nominasi
Festival Film Indonesia 2011 dan memenangkan Piala Citra untuk Sinematografi
Terbaik.
Selain
itu, film Hijab dan Perempuan Berkalung Sorban, yang juga disutradarai oleh Hanung
Bramantyo, juga menimbulkan kontroversi. Film Hijab sebenarnya bisa dikatakan
sebagai film yang jujur karena mengangkat tema keseharian masyarakat Indonesia
tentang penggunaan hijab dengan berbagai konflik peran muslimah dalam sebuah
keluarga. Namun, film ini malah menimbulkan kontroversi ketika Hanum Rais
(penulis buku 99 Cahaya di Langit Eropa) mengkritik film ini karena dianggap
menjelek-jelekkan Islam. Sedangkan, film Perempuan Berkalung Sorban menimbulkan
kontroversi karena dianggap melakukan kritikan kontra produktif atas tradisi
Islam konservatif yang masih dipraktikan dalam banyak pesantren di Indonesia.
Padahal, tema dari novel Perempuan Berkalung Sorban (yang kemudian diadaptasi
menjadi film) pada intinya adalah tentang pemberdayaan wanita. Kasus yang
dialami tokoh utama mengenai diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan
ulama dengan dalih agama, diangkat Hanung Bramantyo dengan berani di film ini.
Memang, Hanung Bramantyo adalah salah satu sutradara yang karyanya kerap
dikritik bahkan dicekal. Karyanya yang ‘berani’ justru dinilai beberapa pihak
melanggar SARA.
Selain
agama, film-film yang terlalu banyak mengandung unsur seks juga menimbulkan
kontroversi. Salah satunya, Fifty Shades
of Grey, film yang diadaptasi dari novel erotis karya E.L. James. Film ini
tidak dapat tayang di beberapa negara, salah satunya di Indonesia, karena tidak
sesuai dengan kriteria penyensoran film. Meski masuk ke dalam film yang
berhasil memecahkan rekor box office dan mendulang untung besar dalam pemutaran
perdananya (USD 94 juta), Fifty Shades of
Grey juga mendapat enam nominasi film terburuk di Razzies Awards; film
terburuk, sutradara terburuk, aktor terburuk, aktris terburuk, naskah cerita
terburuk, dan pasangan terburuk. Film ini menimbulkan kontroversi karena
menampilkan adegan intim antara Anastasia Steele dan Christian Grey dan juga
unsur seksual dalam dialog, bahasa, dan visual yang terlalu berlebihan. Kontroversi film tersebut berpengaruh pada banyak
hal. Salah satunya adalah kasus pelajar (Liam Nelson, 11 tahun) yang diusir
dari perayaan “World Book Day” karena kostum yang ia gunakan menyerupai
karakter dalam film Fifty Shades of Grey,
yaitu berupa jas abu-abu, kabel pengikat, dan penutup mata. Liam Nelson
memakai kostum tersebut karena pihak sekolah meminta murid hadir dengan pakaian
yang sesuai dengan karakter idolanya. Dalam hal ini, Liam Nelson menjadikan
Christian Grey sebagai idolanya. Orang lain mungkin berpikir ia tidak sopan;
namun baginya, ia melakukan hal tersebut hanya untuk bersenang-senang.
Sama
seperti film Tanda Tanya, film Fifty
Shades of Grey juga menuai protes. Hal ini disebabkan karena perubahan
label dari NC-17 menjadi ‘R’ yang secara tiba-tiba. Label NC-17 membuat film
ini bisa ditonton remaja usia 17 tahun ke bawah di Amerika Serikat, dengan
syarat didampingi oleh orangtua mereka. Namun, ketika label film berubah
menjadi ‘R’, film ini menjadi film yang biasa ditonton oleh kalangan remaja
sekalipun tanpa didampingi oleh orangtua mereka. Hal ini jelas menimbulkan
protes keras yang datang dari kelompok anti-pornografi di Amerika Serikat yang
dinamakan Morality In Media.
Tak
bisa dipungkiri, ketika sebuah film menuai banyak kontroversi, film tersebut
justru akan semakin dicari oleh masyarakat. Setiap orang dapat melakukan tafsir
film berdasarkan ruang, waktu, dan peristiwanya sendiri, sehingga tafsir setiap
orang akan berbeda satu dengan lainnya. Namun, bukan berarti hal ini bisa
dijadikan alasan untuk menjudge karya
orang lain. Kita harus tetap mengapresiasi film tersebut. Berikan kritik dan
saran yang membangun, jangan hanya kritik tanpa alasan yang dapat
‘menjatuhkan’.
#RarasSabillaYaniJ
REFERENSI
9.
repository.usu.ac.id/bitstream/.../4/Chapter%20II.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar